“Ibu” itulah panggilan
seorang wanita yang telah melahirkan seorang anak. Ini berarti kita dipanggil
ibu oleh anak-anak
kita. Bukan dipanggil ibu karena kita seorang guru, seorang bos atau seorang
majikan. Bukan juga panggilan ibu bagi nyonya-nyonya seorang pejabat. Sebagai
seorang ibu bagi buah hatiku, aku merasa belum maksimal merawat, mendidik, dan membesarkan dia. Aku
menjalankan kewajiban sebagai seorang ibu sesuai dengan naluri seorang ibu pada
umumnya.
Pada tahun 1998 tepatnya
di hari Minggu, tanggal 1 Februari, jam 10 pagi, aku melahirkan bayi laki-laki yang sehat dan lucu.
Sejak saat itulah aku dipanggil ibu, walaupun sang bayi munggil belum bisa
memanggil ibu kepadaku.
Sejak saat itu pula, titel seorang ibu mulai disematkan di depan namaku. Bagi
seorang wanita tentu suatu kebanggaan tersendiri, karena telah mengandung dan
melahirkan bayi mungil yang sehat dan lucu tanpa cacat pisik dan mental. Tentunya kami
tidak lupa sujud syukur kepada Allah yang maha Pengasih serta Penyayang, atas karunia yang Allah limpahkan kepada
kami ini.
Bukan hanya kebanggaan saja yang aku sandang sebagai seorang ibu, tapi tugas berat telah menanti di depan sana. Kewajiban seorang ibu memang begitu variatif. Dimulai dari menyusui ketika dia masih balita, hingga mendidik dan menjadikan anak yang sudah dianggap dewasa dan mandiri. Itu merupakan perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan bagi seorang ibu.
Sejak anak semata
wayangku berumur empat tahun, ayahnya dipanggil oleh yang Maha Kuasa karena
serangan diabetes. Sejak
saat itu, aku harus berjuang sendirian dalam membesarkan sang buah hati. Awalnya
tugas itu tidak terasa berat, karena pada saat itu aku masih bekerja di perusahan
yang memproduksi sepatu dan sandal. Produk kami khusus diekspor ke negeri
Sakura. Pimpinan dan staf menegernya khusus didatangkan dari negeri berjuluk
matahari terbit itu. Perusahaan itu cukup jaya pada masa itu (sebelum Krisis
moneter). Perusahaan itu, sebut saja PT.
FI, yang berlokasi di kawasan kota Kejapanan. Karyawan yang ada mencapai ribuan,
dan karyawan yang tempat tinggalnya jauh dari Kejapanan, disediakan angkutan,
berupa bus.
Karena krisis moneter
yang berkepanjangan, perusahaan kami pun tidak bisa bertahan. Akhirnya
terjadilah Pemutusan Hubungan Kerja secara besar-besaran. Seluruh karyawan di
PHK, termasuk aku. Hilangnya pekerjaanku, hilang pula mata pencarianku.
Bagaimana aku harus mencukupi kebutuhan hidup keluargaku tanpa seorang
pendamping alias single parent, jika aku tidak bekerja.
Tapi aku tidak berputus
asa, aku tetap berusaha mencari pekerjaan di perusahaan lain, demi mencukupi
kebutuhan hidup kami sekeluarga (aku, anakku dang bapakku yang pada waktu itu
masih ada, sementara ibu telah tiada sejak anakku berusia dua tahun). Apalagi
pada saat itu sang buah hati sudah mulai menginjak sekolah taman kanak-kanak, maka kebutuhan
hidup pun semakin bertambah. Pada saat krisis moneter saat itu memang masa-masa
yang sangat sulit, terutama bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.
Kebutuhan hidup seperti sembako harganya selangit, sedangkan lapangan pekerjaan
semakin sempit.
Dari sekian banyak
lamaran yang aku ajukan, ada satu perusahan yang bersedia menerimaku
sebagai karyawan, yaitu sebuah perusahan sepatu di daerah Candi Sidoarjo, walaupun
aku diterima sebagai karyawan biasa, aku tetap bersyukur, karena ini bisa
memperpanjang nafas hidup kami sekeluaga. Sayangnya, aku tidak bisa lama
bekerja di perusahan itu, karena di perusahan itu memberlakukan sistem kontrak. Aku
bekerja di perusahaan tersebut selama tiga bulan saja.
Mau gimana lagi? Mau
tak mau aku harus berjuang lagi untuk mendapatkan pekerjaan yang baru, selama satu
bulan aku pulang balik, ke sana ke mari mengajukan lamaran dari satu perusahaan
ke perusahaan lainnya, tapi tak satupun membuahkan hasil. Akhirnya aku mengikuti
saran seorang teman, agar aku melamar pekerjaan di perusahaan rokok, dimana dia bekerja. Perusahaan rokok berskala
kecil di kawasan Siring-Porong,
sekarang bersebrang dengan kawasan lumpur Lapindo. Walaupun pekerjaan ini tidak
sesuai dengan skil yang ku miliki, demi memenuhi tuntutan kebutuhan hidup, akhirnya
aku mengikuti saran temanku.
Belum lama aku bekerja
di sana, aku sering batuk-batuk, entahlah mungkin
aku tidak tahan dengan aroma tembakaunya. Semakin lama di sana nafasku semakin
sesak, aku berfikir: “Kalau begini terus ini akan membahayakan kesehatanku, dan
jika sampai berakibat fatal, bagaimana dengan anakku? Siapa
yang merawat dia, jika aku tinggalkan? Sedang ayahnya sudah lebih dahulu
meninggalkan dia.”
Aku mencoba menguhubungi
kakakku yang berada di Samarinda, mungkin dia bisa membantu kesulitanku. Yang
pada saat itu masih menggunakan war-tel, karena belum memiliki HP. Atas saran
kakakku, akhirnya aku memutuskan merantau ke Samarinda seperti kakakku. Meskipun terasa
berat, aku harus tetap menjalani, aku harus meninggalkan kampung halaman, rumah
peristirahatan di saat aku lelah
dan letih, tetangga dan sanak saudara, juga teman-teman semasa bermain, teman
sekolah dan teman sekerjaan yang masih tersisa.
Aku menginjakan kakiku
di tanah Borneo, di pertengahan
tahun 2003. Aku mengikuti jejak saudara-saudaraku yang sudah lebih dahulu hidup
di Samarinda. Ternyata kehidupan di tanah perantauan pun tidak semudah
harapanku. Pada saat itu, aku masih membiayai sekolah anakku ke TK nol besar,
untuk sementara harus numpang hidup di rumah kakakku.
Untuk mencari pekerjaan
di samarinda ternyata tidak semudah kata orang. Aku sempat menganggur beberapa
bulan dan menumpang hidup sama saudaraku. “Aduh betapa beratnya menjadi beban
hidup orang lain.” Itulah keluh kesahku dalam hatiku pada saat itu. Semua
menjadi serba salah. Mau kembali ke Jawa sudah kepalang basah, mau bertahan,
sampai kapan aku menjadi
beban saudaraku.
Apalagi bekal uang yang aku bawa semakin menipis, sedang sekolah anakku memerlukan
biaya yang tidak sedikit.
“Ya Allah tuntunlah aku
ke jalan yang engkau ridhoi dan tunjukan aku dimana aku mencari rejeki yang halal.” Itulah
do’a yang selalu aku panjatkan kepadaNya
disetiap aku usai sholat. Mungkin saat itu Allah benar-benar menguji imanku
sebagai perempuan yang lama hidup sendirian. Aku mencoba untuk selalu sabar,
disetiap ada godaan. Di kota yang mayoritas dihuni oleh kaum pendatang ini,
sering kali kita terjebak ke dunia hitam, jika kita tidak kuatkan iman. Apalagi
kalau sudah didesak oleh kebutuhan hidup yang semakin komplit dan variatif ini.
Ku pikir-pikir sampai
kapan aku harus menganggur, dan menjadi beban saudara. “Apapun pekerjaan yang
aku dapat, asal halal, aku harus terima.” Itulah yang ada di benakku saat itu. Secara
kebetulan waktu itu, ada seorang tetangga kakakku yang memberitahu bahwa ada
orang yang mencari pembantu rumah tangga. Dengan berat hati akupun menerima
tawaran tetangga kakakku itu, daripada aku tidak melakukan apapun. Tak ada opsi
lain, selain pekerjaan itu yang aku dapatkan, toh pekerjaan halal, dan orang di
Jawa, maksudku tetangga, saudara dan teman-temanku tidak tahu, kalau aku
jauh-jauh datang ke Samarinda hanya menjadi seorang pembantu rumah tangga.
Ini perjuangan yang
paling berat yang kurasa saat itu. Menjadi pembantu rumah tangga bukanlah
pekerjaan yang ringan, bahkan ini pekerjaan yang super-super berat bagiku. Dari
mulai memasak, mencuci pakaian, bersih-bersih rumah, kebun, taman dan seambrek lagi
pekerjaan rumah tangga lainnya menjadi tugasku. Belum lagi kalau majikannya cerewet
abis, ada saja yang dikomplin, sedangkan gaji yang aku terima tidak sesuai dengan
banyaknya pekerjaan yang aku kerjakan. Pada waktu itu aku meterima gaji Rp 400.000,
per bulan. Dari jam 07.00 pagi hingga jam 06.00 sore, aku harus sudah
standby di rumah majikanku.
Pulang ke rumah sudah kelelahan dan tidak sempat lagi, memberikan belaian kasih
sayang kepada buah hati tercinta yang seharian kutitipkan sama kakakku.
Aku ingat waktu itu,
aku memcuci pakaian sambil menitikkan air mata. Sangking beratnya beban hidup yang aku jalani demi anakku
tercinta. Aku mencoba untuk selalu bersabar
dan tabah menjalani hidup di perantauan demi buah hati tercinta. Hari
berganti-hari, bulan-berganti bulan, sampai hitungan tahun, aku jalani
kehidupan dengan kesabaran.
Tak terasa, ketika
anakku menginjak usia 11 tahun dan pada saat itu dia memasuki kelas VI SD. Aku
menikah dengan seorang duda keturunan Jawa juga, tentunya ini sudah atas
persetujuan anakku. Walaupun pada awalnya anakku tidak mau punya bapak tiri,
tapi berkat kesungguhan dan kesabaran calon suamiku (yang sekarang menjadi
suamiku)akhir anakku menerima dia sebagai ayahnya. Bahkan sekarang sudah seperti
ayah kandungnya sendiri.
Setelah aku menikah,
aku berhenti bekerja. Aku merasa lelah menjadi seorang pembantu rumah tangga.
Aku ingin beristirahat dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Sementara untuk
memenuhi kebutuhan hidup, ada suamiku yang menafkahi kami. Walaupun hidup
sederhana kami menjalani dengan penuh rasa syukur.
Dengan rasa syukur maka
Allah akan menambah rejeki kita. Terbukti, setelah setengah tahun aku menikah,
aku ditawari pekerjaan oleh seorang teman. Pekerjaan ini cukup menjanjikan,
karena aku dibutuhkan sebagai admin di perusahan angkutan BBM solar. Ini
kesempatan yang tidak akan aku lewatkan. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung
menerima tawaran itu. Dan sampai sekarang sudah berjalan hampir empat tahun aku
bekerja di sana.
Alhamdullah, Allah
telah mendengar dan mengabulkan do’a-do’aku. Do’a seorang ibu yang bersungguh-sungguh
ingin berjalan sendirian
di antara hujan dan badai. Cobaan dan ujian dari Allah seberat apapun jika kita
tabah menjalani, maka akan semakin mempertebal iman kita kepadaNya. Dan cobaan
dan ujian itu adalah pelajaran bagi kita untuk menjadi kita lebih matang dan dewasa.
Bukan hanya menjalani hidup di dunia saja, tapi untuk hidup kita selanjutnya
nanti, amin...amin... ya Robbal Al-Amin.
Label:
Pengalaman pribadi
0 komentar:
Posting Komentar