Minggu, 13 Oktober 2013

Perjuangan Seorang Ibu


“Ibu” itulah panggilan seorang wanita yang telah melahirkan seorang anak. Ini berarti kita dipanggil ibu oleh anak-anak kita. Bukan dipanggil ibu karena kita seorang guru, seorang bos atau seorang majikan. Bukan juga panggilan ibu bagi nyonya-nyonya seorang pejabat. Sebagai seorang ibu bagi buah hatiku, aku merasa belum maksimal  merawat, mendidik, dan membesarkan dia. Aku menjalankan kewajiban sebagai seorang ibu sesuai dengan naluri seorang ibu pada umumnya.
Pada tahun 1998 tepatnya di hari Minggu, tanggal 1 Februari, jam 10 pagi, aku melahirkan bayi laki-laki yang sehat dan lucu. Sejak saat itulah aku dipanggil ibu, walaupun sang bayi munggil belum bisa memanggil ibu kepadaku. Sejak saat itu pula, titel seorang ibu mulai disematkan di depan namaku. Bagi seorang wanita tentu suatu kebanggaan tersendiri, karena telah mengandung dan melahirkan bayi mungil yang sehat dan lucu tanpa cacat pisik dan mental. Tentunya kami tidak lupa sujud syukur kepada Allah yang maha Pengasih serta  Penyayang, atas karunia yang Allah limpahkan kepada kami ini.


Bukan hanya kebanggaan saja yang aku sandang sebagai seorang ibu, tapi tugas berat telah menanti di depan sana. Kewajiban seorang ibu memang begitu variatif. Dimulai dari menyusui ketika dia masih balita, hingga mendidik dan menjadikan anak yang sudah dianggap dewasa dan mandiri. Itu merupakan perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan bagi seorang ibu.
Sejak anak semata wayangku berumur empat tahun, ayahnya dipanggil oleh yang Maha Kuasa karena serangan diabetes. Sejak saat itu, aku harus berjuang sendirian dalam membesarkan sang buah hati. Awalnya tugas itu tidak terasa berat, karena pada saat itu aku masih bekerja di perusahan yang memproduksi sepatu dan sandal. Produk kami khusus diekspor ke negeri Sakura. Pimpinan dan staf menegernya khusus didatangkan dari negeri berjuluk matahari terbit itu. Perusahaan itu cukup jaya pada masa itu (sebelum Krisis moneter). Perusahaan itu, sebut saja PT. FI, yang berlokasi di kawasan kota Kejapanan. Karyawan yang ada mencapai ribuan, dan karyawan yang tempat tinggalnya jauh dari Kejapanan, disediakan angkutan, berupa bus.
Karena krisis moneter yang berkepanjangan, perusahaan kami pun tidak bisa bertahan. Akhirnya terjadilah Pemutusan Hubungan Kerja secara besar-besaran. Seluruh karyawan di PHK, termasuk aku. Hilangnya pekerjaanku, hilang pula mata pencarianku. Bagaimana aku harus mencukupi kebutuhan hidup keluargaku tanpa seorang pendamping alias single parent, jika aku tidak bekerja.
Tapi aku tidak berputus asa, aku tetap berusaha mencari pekerjaan di perusahaan lain, demi mencukupi kebutuhan hidup kami sekeluarga (aku, anakku dang bapakku yang pada waktu itu masih ada, sementara ibu telah tiada sejak anakku berusia dua tahun). Apalagi pada saat itu sang buah hati sudah mulai menginjak sekolah taman kanak-kanak, maka kebutuhan hidup pun semakin bertambah. Pada saat krisis moneter saat itu memang masa-masa yang sangat sulit, terutama bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. Kebutuhan hidup seperti sembako harganya selangit, sedangkan lapangan pekerjaan semakin sempit.
Dari sekian banyak lamaran yang aku ajukan, ada satu perusahan yang bersedia menerimaku sebagai karyawan, yaitu sebuah perusahan sepatu di daerah Candi Sidoarjo, walaupun aku diterima sebagai karyawan biasa, aku tetap bersyukur, karena ini bisa memperpanjang nafas hidup kami sekeluaga. Sayangnya, aku tidak bisa lama bekerja di perusahan itu, karena di perusahan itu memberlakukan sistem kontrak. Aku bekerja di perusahaan tersebut selama tiga bulan saja.
Mau gimana lagi? Mau tak mau aku harus berjuang lagi untuk mendapatkan pekerjaan yang baru, selama satu bulan aku pulang balik, ke sana ke mari mengajukan lamaran dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, tapi tak satupun membuahkan hasil. Akhirnya aku mengikuti saran seorang teman, agar aku melamar pekerjaan di perusahaan rokok,  dimana dia bekerja. Perusahaan rokok berskala kecil di kawasan Siring-Porong, sekarang bersebrang dengan kawasan lumpur Lapindo. Walaupun pekerjaan ini tidak sesuai dengan skil yang ku miliki, demi memenuhi tuntutan kebutuhan hidup, akhirnya aku mengikuti saran temanku.
Belum lama aku bekerja di sana, aku sering batuk-batuk, entahlah mungkin aku tidak tahan dengan aroma tembakaunya. Semakin lama di sana nafasku semakin sesak, aku berfikir: “Kalau begini terus ini akan membahayakan kesehatanku, dan jika sampai berakibat fatal, bagaimana dengan anakku? Siapa yang merawat dia, jika aku tinggalkan? Sedang ayahnya sudah lebih dahulu meninggalkan dia.”
Aku mencoba menguhubungi kakakku yang berada di Samarinda, mungkin dia bisa membantu kesulitanku. Yang pada saat itu masih menggunakan war-tel, karena belum memiliki HP. Atas saran kakakku, akhirnya aku memutuskan merantau ke Samarinda seperti kakakku. Meskipun terasa berat, aku harus tetap menjalani, aku harus meninggalkan kampung halaman, rumah peristirahatan di saat aku lelah dan letih, tetangga dan sanak saudara, juga teman-teman semasa bermain, teman sekolah dan teman sekerjaan yang masih tersisa.
Aku menginjakan kakiku di tanah Borneo, di pertengahan tahun 2003. Aku mengikuti jejak saudara-saudaraku yang sudah lebih dahulu hidup di Samarinda. Ternyata kehidupan di tanah perantauan pun tidak semudah harapanku. Pada saat itu, aku masih membiayai sekolah anakku ke TK nol besar, untuk sementara harus numpang hidup di rumah kakakku.
Untuk mencari pekerjaan di samarinda ternyata tidak semudah kata orang. Aku sempat menganggur beberapa bulan dan menumpang hidup sama saudaraku. “Aduh betapa beratnya menjadi beban hidup orang lain.” Itulah keluh kesahku dalam hatiku pada saat itu. Semua menjadi serba salah. Mau kembali ke Jawa sudah kepalang basah, mau bertahan, sampai kapan aku menjadi beban saudaraku. Apalagi bekal uang yang aku bawa semakin menipis, sedang sekolah anakku memerlukan biaya yang tidak sedikit.
“Ya Allah tuntunlah aku ke jalan yang engkau ridhoi dan tunjukan aku dimana aku mencari rejeki yang halal.” Itulah do’a  yang selalu aku panjatkan kepadaNya disetiap aku usai sholat. Mungkin saat itu Allah benar-benar menguji imanku sebagai perempuan yang lama hidup sendirian. Aku mencoba untuk selalu sabar, disetiap ada godaan. Di kota yang mayoritas dihuni oleh kaum pendatang ini, sering kali kita terjebak ke dunia hitam, jika kita tidak kuatkan iman. Apalagi kalau sudah didesak oleh kebutuhan hidup yang semakin komplit dan variatif ini.
Ku pikir-pikir sampai kapan aku harus menganggur, dan menjadi beban saudara. “Apapun pekerjaan yang aku dapat, asal halal, aku harus terima.” Itulah yang ada di benakku saat itu. Secara kebetulan waktu itu, ada seorang tetangga kakakku yang memberitahu bahwa ada orang yang mencari pembantu rumah tangga. Dengan berat hati akupun menerima tawaran tetangga kakakku itu, daripada aku tidak melakukan apapun. Tak ada opsi lain, selain pekerjaan itu yang aku dapatkan, toh pekerjaan halal, dan orang di Jawa, maksudku tetangga, saudara dan teman-temanku tidak tahu, kalau aku jauh-jauh datang ke Samarinda hanya menjadi seorang pembantu rumah tangga.
Ini perjuangan yang paling berat yang kurasa saat itu. Menjadi pembantu rumah tangga bukanlah pekerjaan yang ringan, bahkan ini pekerjaan yang super-super berat bagiku. Dari mulai memasak, mencuci pakaian, bersih-bersih rumah, kebun, taman dan seambrek lagi pekerjaan rumah tangga lainnya menjadi tugasku. Belum lagi kalau majikannya cerewet abis, ada saja yang dikomplin, sedangkan gaji yang aku terima tidak sesuai dengan banyaknya pekerjaan yang aku kerjakan. Pada waktu itu aku meterima gaji Rp 400.000, per bulan. Dari jam 07.00 pagi hingga jam 06.00 sore, aku harus sudah standby di rumah majikanku. Pulang ke rumah sudah kelelahan dan tidak sempat lagi, memberikan belaian kasih sayang kepada buah hati tercinta yang seharian kutitipkan sama kakakku.
Aku ingat waktu itu, aku memcuci pakaian sambil menitikkan air mata. Sangking beratnya  beban hidup yang aku jalani demi anakku tercinta. Aku mencoba untuk selalu bersabar dan tabah menjalani hidup di perantauan demi buah hati tercinta. Hari berganti-hari, bulan-berganti bulan, sampai hitungan tahun, aku jalani kehidupan dengan kesabaran.
Tak terasa, ketika anakku menginjak usia 11 tahun dan pada saat itu dia memasuki kelas VI SD. Aku menikah dengan seorang duda keturunan Jawa juga, tentunya ini sudah atas persetujuan anakku. Walaupun pada awalnya anakku tidak mau punya bapak tiri, tapi berkat kesungguhan dan kesabaran calon suamiku (yang sekarang menjadi suamiku)akhir anakku menerima dia sebagai ayahnya. Bahkan sekarang sudah seperti ayah kandungnya sendiri.
Setelah aku menikah, aku berhenti bekerja. Aku merasa lelah menjadi seorang pembantu rumah tangga. Aku ingin beristirahat dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada suamiku yang menafkahi kami. Walaupun hidup sederhana kami menjalani dengan penuh rasa syukur.
Dengan rasa syukur maka Allah akan menambah rejeki kita. Terbukti, setelah setengah tahun aku menikah, aku ditawari pekerjaan oleh seorang teman. Pekerjaan ini cukup menjanjikan, karena aku dibutuhkan sebagai admin di perusahan angkutan BBM solar. Ini kesempatan yang tidak akan aku lewatkan. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menerima tawaran itu. Dan sampai sekarang sudah berjalan hampir empat tahun aku bekerja di sana.
Alhamdullah, Allah telah mendengar dan mengabulkan do’a-do’aku. Do’a seorang ibu yang bersungguh-sungguh ingin berjalan sendirian di antara hujan dan badai. Cobaan dan ujian dari Allah seberat apapun jika kita tabah menjalani, maka akan semakin mempertebal iman kita kepadaNya. Dan cobaan dan ujian itu adalah pelajaran bagi kita untuk menjadi kita lebih matang dan dewasa. Bukan hanya menjalani hidup di dunia saja, tapi untuk hidup kita selanjutnya nanti, amin...amin... ya Robbal Al-Amin.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog List