Maklumlah sms adalah satu-satunya alat komunikasi yang dapat kami pergunakan
selama ini, agar persahabatan kami tidak terputus. Meskipun saat ini sudah ada e-mail,
facebook dan twiter, kami belum bisa menggunakan sarana ini karena sahabatku
tinggalnya di desa yamg terpencil.
Sepuluh tahun yang lalu aku mengenal dia. Kami saling mengenal karena kami
satu tim kerja di sebuah perusahaan produk sepatu di daerah Gempol – Pasuruan.
Perusahaan ini lumayan besar dan berjaya pada masa itu, (sebelum krisis moneter
tahun 1998). Para karyawan yang jumlahnya ribuan mendapatkan fasilitas antar
jemput berupa angkutan bus. Jadi karyawan yang tinggalnya di pelosok-pelosok
desa tidak akan khawatir lagi, meskipun sistem kerja dibagi menjadi 3 shift, pagi,
sore dan malam.
Sebenarnya tidak seberapa lama aku mengenal dia, kalau dibandingkan dengan
teman-temanku yang lain, karena sebelumnya dia dan aku tidak satu tim. Waktu
aku menikah saja dia tidak ku undang karena aku belum terlalu dekat dengan dia.
Begitu pula ketika dia menikah, aku juga tidak mendapat undangan pernikahan
dari dia.
Entah karena apa, apa karena kecocokan, atau karena senasib, sehingga
persahabatan kami sampai saat ini bisa bertahan. Kami terpisahkan karena
perusahaan tempat kami bekerja gulung tikar dan para karyawan diphk secara
masal pada tahun 2002.
Kami mencari jalan kehidupan masing-masing. Karena sulitnya mencari
pekerjaan pada saat itu, dan aku harus tetap mencari nafkah untuk buah hatiku,
karena suami tercinta telah dipanggil ke Rahmatullah. Aku terpaksa meninggalkan
kampung halaman dan bekerja di pulau Borneo, tepatnya di kota Samarinda.
Menyusul kakak-kakakku yang terlebih dahulu merantau di kota ini.
Sekian tahun aku di pulau Borneo dan dia di tanah Jawi, persahabatan kami
tetap terjalin dengan indahnya, meskipun kami jarang sekali bertemu. Sebelum
maraknya penggunaan hp, kami jarang sekali berkomunikasi, kami hanya bisa
berkomunikasi lewat telpon di War-Tel. Bahkan kami sempat terputus hubungan
karena, aku kehilangan hp dan secara otomatis nomor-nomor hp yang ku punya
hilang semua termasuk nomor hp sahabatku. Nomor hp keluargaku di Jawa bisa
ku dapat dari keluargaku yang tinggal di sini. Tapi nomor hp sahabatku, aku
dapat dari mana, kalau aku tidak pulang ke Jawa? Itulah sebabnya kami sempat
putus hubungan selama satu tahun lamanya.
Ternyata dia masih ingin menjalin hubungan persahabat denganku, sehingga
dia punya inisiatif mendatangi keluargaku yang masih tinggal di Jawa untuk
menanyakan nomor hpku yang baru, padahal jarak rumah keluargaku dengan rumahnya
lumayan jauh. Dia tinggal di Mojokerto dan keluargaku tinggal di Sidoarjo. Aku
sangat salut sama dia, karena biarpun kami telah terpisahkan oleh jarak dan
waktu, tapi dia tidak ingin putuskan persahabat denganku.
Jika aku pulang ke Jawa, aku selalu sempatkan waktu datang ke rumahnya, dan
jika dengan terpaksa aku tidak sempat ke rumahnya, dialah yang datang ke rumah
keluargaku, agar bisa bertemu denganku untuk melepaskan rindu. Itulah sebabnya
aku tak ingin kehilangan dia, sahabat yang selalu menemaniku dalam suka maupun
duka. Sahabat tempat aku berbagi dalam berbagai situasi.
Malam itu, ku kira dia yang smsi aku, dengan senang hati ku angkat hpku, karena aku
ingin segera membuka isi sms dari sahabatku. Tapi betapa kecewanya hatiku, karena
itu bukan sms dari sahabatku. Dan semakin malas aku membukanya karena sms itu
dari nomor yang tiada bernama. Karena aku penasaran sama sms itu, yang sekilas terbaca dari deretan kalimatnya, ada tertera nama
sahabatku, maka ku buka sms itu.
Sms itu sok akrab
banget seperti dia sudah lama mengenalku, ketika ku tanya, dia
mala menyuruhku
nanya sama
sahabatku. Dan ketika ku tanya sahabatku, dia bilang: “temenku gitu aja.” Aku sudah
menebak-nebak,
bahkan aku sudah menganggap bahwa itu adalah nomor hp keponakan sahabatku,
karena orang yang paling deket sama sahabatku dan
yang
menggenalku cuma ponakan sahabatku yang bernama Djee.
Karena aku masih ragu dan penasaran sama orang itu, maka ku biarkan saja dia smsi aku dan tetap ku balas
smsnya, walaupun sahabatku
sudah berpesan kepadaku, agar mengabaikan sms itu. Ketika dia sms macam-macam dan sudah menjelek-jelekan sahabatku, aku mulai nyadar bahwa itu bukanlah Djee. Meskipun aku sakit hati karena
dia sudah ngomong
yang nggak-nggak
tentang sahabatku,
tapi aku tetap bertahan dan membalas sms itu, karena aku ingin tau apa maunya orang itu.
Dan pada puncaknya, ya
kemarin itu. Aku sudah
nggak tahan lagi, sms orang itu (malam
kamis jam setengah 12) tetap ku balas, karena
aku masih penasaran sama
orang itu, meskipun sms itu sangat menggangguku.
Malam itu aku nggak
bisa tidur terus saja kepikiran sahabatku,
dalam kegalauan itu aku sms sahabatku
dan nggak
ada balasan, aku maklum karena malam
itu
sudah tengah malam dan pasti dia sudah terlelap. Karena aku belum juga bisa
pejamkan mataku, akhirnya ku putuskan mengambil air wudhu dan aku bersujud.
Dalam do’a malam itu
air mataku sudah tak dapat terbendung lagi, aku memohon kepada Yang Maha Kholiq: “Ya… Allah rangkulah sahabatku Ningsih, bawa dia kembali ke jalanMu dan
jangan biarkan dia sendiri dalam kegelapan.”
Aku nggak tau lagi jam berapa aku terlelap.
Seperti biasa pagi aku tetap menjalani aktifitasku, tapi hatiku tetap saja nggak bisa tenang. Ku lihat di hp sahabatku membalas smsku “ma’af aq nggak tau smsmu.” Ku biarkan saja sms itu dan nggak
ku balas.
Di kantor aku tetap
seperti biasa kerja dan ku selesaikan pekerjaanku secepatnya karena aku ingin
e-mail ke Djee.
Dalam kegalauan, setelah makan siang aku sms sahabatku, karena aku nggak sabar menunggu berita dari Djee. Seperti biasa aku cuma basa-basi, nggak to the point.
”Ning, kapan kamu kembali?” Tu smsku.
Aku sms seperti itu karena aku sangat mencemaskan keadaan sahabatku. Isi
sms nomor tak bernama itu seolah-olah memojokan sahabatku. Aku tak ingin
sahabatku terlalu jauh melangkah, sehingga membuat dia tersesat ke jalan yang
berlawanan arus. Itulah sebabnya aku nggak bisa tenang dan selalu memikirkan
dia.
“Kembali kemana?” Ningsih
membalas.
“Ke jalanmu Ning!” Aku membalas lagi.
“Nggak taulah In” Rupanya dia tau arah pembicaraanku.
“Lebih baik mataku buta dan telingahku tuli dari pada aku melihat dan mendengar berita yang nggak menyenangkan tentang dirimu” Ku sms lagi.
“Kamu dengar apa
tentang aku” Ningsih
membalas lagi.
“Aku nggak akan katakan itu, karena aku nggak ingin melukai hatimu” Itu smsku.
“Anggap itu semua benar dan kamu nggak usah mikirin itu semua” Balas sahabatku.
“Jadi kamu menginginkan,
bahwa kamu bukan sahabatku lagi” Jawabku.
“Bukan itu maksudku” Balas sahabatku.
“Kamu nggak usah berpikir seperti itulah In,
aku cuma nggak
pingin kamu kepikiran gara-gara
aku” Ningsih
sms lagi.
“Aku nggak bisa Ning, kalo nggak mikirin, jika
itu bener-bener terjadi sama kamu!” Aku membalas lagi.
Terus aku di smsi oleh nomor tak bernama itu:
“Kamu ngomong apa sama Ningsih,
dia ngamuk-ngamuk
sama aku.”
Aku baru nyadar kalo orang yang nggak ku kenal itu adalah temen deket sahabatku
di balai desa, tempat dimana Nigsih bekerja. Rupanya di balai desa sana telah
terjadi pertengkaran antara
Ningsih dan temen deketnya karena sms itu. Aku abaikan sms dari nomor tak dikenal itu, karena sahabatku meminta kepadaku agar sms orang yang nggak ku kenal itu
dialihkan ke hpnya Ningsih,
bahkan sampai 3 kali dia meminta ke aku, jujur aku merasa keberatan menuruskan semua sms itu, karena aku nggak ingin melukai sahabatku, kalimat
di sms itu bener-bener
akan menyakiti hati sahabatku.
“Pa kamu bisa menjaga emosimu, jika da tau isi sms itu?” Aku masih ragu tuk
mengalihkan sms itu.
“Udalah In kirim aja ke aku! Aku bisa kok menjaga emosiku!” Balas
sahabatku.
“Aku nggak mau hatimu terluka Ning!” Aku balas kembali.
“Kalo kamu nggak mau alihkan sms itu ke aku, jangan
anggap aku sahabatmu lagi.”
Itu sms Ningsih yang membuat hatiku melemah. Akhirnya dengan berat hati ku
kirim sms orang nggak ku
kenal
itu ke Ningsih.
Perangpun berkobar, aku nggak tau apa yang terjadi di balai
desa sana….
Label:
Cerpen
0 komentar:
Posting Komentar