Selasa, 30 September 2014

KISAH PANGERAN DUMAY DAN PUTRI BERCADAR

0
Ada seorang pangeran tampan. Dia merasa bosan dengan hingar bingar dunia maya. Dia merasa jenuh melihat ulah gadis-gadis yang begitu glamor. Dia merasa tak nyaman lagi dipameri paha dan dada yang selalu membuai halusinasinya. Dia ingin mencari ketenangan jiwa. Dia ingin meninggalkan dunia glamor yang hanyalah suatu kenikmatan dunia semata. Kenikmatan yang bersifat sementara.

Dia ingin melakukan perjalanan. Menikmati indahnya alam yang asri dengan rimbunnya pepohonan. Menikmati segarnya udara pagi yang nyaman tanpa polusi. Dengan bekal seadanya dia berjalan memasuki sebuah hutan.

Dengan tas ransel di punggungnya dia terus berjalan tanpa mengenal lelah. Dan sesekali dia memetik sebatang ranting kering. Sambil berjalan dipatah-patahkannya ranting itu hingga tak tersisa lagi di tangannya. Lalu dia memetik ranting kering lagi dan dia patah-patahkan lagi hingga habis.

Setelah kakinya mulai merasa lelah, dia berhenti dan mencari tempat untuk beristirahat. Di bawah sebatang pohon yang rindang, dia berhenti dan meletakan tas ransel yang ada punggungnya. Lalu dia duduk seraya menyandarkan punggungnya di pohon itu. Dia mengambil bekal air minum di dalam tas yang ada di sampingnya. Dia ingin membasahi tenggorokannya yang mulai mengering.

Sambil menikmati pemandangan alam yang elok bersahaja, dia ingin menghirup udara segar alami yang bebas dari polusi. Dia melihat-lihat alam di sekelilingnya. Bebatuan, pepohonan dan rumput ilalang. Suara suitan burung-burung liar bersaut-sautan adalah harmoni alam yang menentramkan jiwanya.

Ketika mata sang pangeran menatap jauh ke depan. Dia tersentak, sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Nan jauh di sana, dia melihat sekelebat bayangan manusia. Terlihat samar-samar, bayangan itu membuat sang pangeran semakin penasaran. “Mungkinkah ada manusia lain, selain diriku di dalam hutan ini?” itulah yang berkecamuk di dalam benak sang pangeran saat itu.

Sang pangeran beranjak dari tempat duduknya. Seraya meletakan kembali tas ransel di atas punggungnya, dia berjalan pelan-pelan. Dengan berhati-hati dia mulai mendekati bayangan itu. Seperti sang pemburu yang sedang mengintai buruannya. Semakin dekat sang pangeran semakin berhati-hati karena bayangan itu semakin terlihat sempurna. Dia bersembunyi di balik pohon dan semak belukar, agar intaiannya tidak melihat dirinya.

Ketika bayangan itu terlihat semakin jelas, sang pangeran tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Ternyata bayangan itu adalah sosok seorang wanita. Dia terus mengusap-usap matanya dan membelalakan matanya di balik rimbunnya pepohonan. Karena dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. “Mungkinkah ada seorang wanita yang tinggal di hutan ini... atau dia seorang peri...” Pertanyaan itu terus terbersit di dalam benaknya.

Dia terus memperhatikan wanita itu. Sepertinya dia sedang memetik sayuran dan buah. Sang pangeran semakin dibuat penasaran, karena dia tidak bisa melihat raut wajah wanita itu. wanita itu terus membelakangi sang pangeran, sehingga dia terus berusaha mencari posisi yang tepat, agar bisa melihat raut wajah wanita itu. “Meskipun pakaian yang dikenakan oleh wanita itu begitu sederhana tapi wanita itu terlihat anggun, tentunya dia seorang wanita yang berparas cantik jelita.Bisik dalam hati sang pangeran.

Rupanya wanita itu sudah selesai memetik sayuran dan buah. Dia mengangkat keranjang dan menjijing keranjang yang sudah penuh dengan sayuran dan buah. Sang pangeran terus memperhatikan gerak gerik wanita itu. Sang pangeran terlihat sedikit lega karena wanita itu membalikan badan, dengan begitu sang pangeran bisa melihat raut wajah wanita itu.

Hah... oh oh” sang pangeran kembali dibuat terkejut, setelah wanita itu membalikan badannya, karena sang pangeran tetap saja tidak bisa melihat raut wajah wanita itu. Ternyata wanita itu menutupi wajahnya dengan cadar. Cadar yang dipasang wanita itu terlihat lucu. Cadar yang bergambar wajah gadis kecil yang manis dan imut. Sang pangeran terlihat sangat kecewa dan terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri “Apakah dia seorang wanita yang buruk rupa, atau wajahnya cacat sehingga dia menutupi wajahnya dengan cadar dan dia malu dengan orang-orang di sekelilingnya, sehingga dia mengasingkan diri di hutan ini.

Wanita bercadar itu berjalan ke arah sang pangeran sambil menjijing keranjang sayurnya. Sang pangeran berusaha menyembunyikan dirinya di balik rimbunnya pepohonan agar kehadirannya tidak diketahui oleh wanita itu. Sambil mengendap-endap Sang pangeran berusaha mengikuti wanita itu. Sang pangeran semakin penasaran, rasa ingin tahunya semakin besar terhadap wanita itu.

Oh… ternyata di dalam hutan ini ada sebuah pondok. Podok sederhana yang terbuat dari kayu. Rupanya di pondok itulah wanita bercadar itu tinggal. Wanita bercadar itu buru-buru masuk ke dalam pondok dan menutup kembali pintu pondok dengan rapat.

Di pondok sederhana inilah putri bercadar melakukan kegiatan sehari-hari. Memasak, mencuci dan kegiatan yang lainnya. Dia selalu mengenakan cadar bila keluar dari pondok, tapi jika di dalam pondok dia membuka cadarnya. Walaupun sendiri dan jauh dari hingar-binger kehidupan dunia, dia merasa injoy berada di tempat ini.

Sementara itu di luar sana, Sang Pangeran semakin merasa penasaran. Apa yang terjadi dengan wanita itu sehingga dia mengasingkan diri di dalam hutan ini. Maka dia segera mendirikan tenda. Tenda kemping yang berukuran kecil. Dia ingin menginap di hutan ini. Dia sangat penasaran dengan wanita bercadar itu. Dia memasang tendanya di balik semak belukar, agar kehadirannya tidak diketahui oleh wanita bercadar itu.

Malam telah tiba. Sang rembulan tampak begitu sempurna. Raut wajahnya yang cantik selalu tersenyum. Menghiasi langit ditemani sang bintang. Suara burung malam mengalunkan melody kerinduan. Begitu syadu terdengar mendayu-dayu.

Sang pangeran mulai menyalakan lampu emergency sebagai alat penerangan di dalam tendanya. Untung saja dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal, jika sewaktu-waktu dia harus menginap di dalam hutan, termasuk bekal makanan.

Sementara itu di dalam pondok terlihat samar-samar cahaya lentera. Cahaya yang menerangi ruangan di dalam pondok itu. Sang pangeran selalu memperhatikan pondok itu, terutama pintu pondok, karena sang pangeran selalu berharap dia bisa melihat wanita bercadar itu keluar dari dalam pondok. Tapi dari mulai sang pangeran berada di tempat itu, hingga malam tiba wanita bercadar itu tidak pernah keluar lagi dari pondoknya.

Rasa ingin tahu yang begitu besar membuat sang pangeran memberanikan diri untuk mendekati pondok itu. Dia ingin tahu apa saja yang dilakukan wanita bercadar itu di dalam pondok. Di selah-selah lubang dinding kayu, sang pangeran mulai mengintip. Berkali-kali dia mencoba menemukan dimana gerangan wanita bercadar itu berada.

Namun pada akhirnya sang pangeran menemukan wanita itu di dalam kamarnya. Hati sang pangeran pun merasa lega. Rupanya wanita bercadar itu sudah bersiap-siap mendekap malam. Dan mengukir mimpi indahnya. Rambutnya yang panjang hitam legan diurai. Cadar yang menutupi wajahnya pun dilepas. Tapi sayang, sang pangeran belum bisa melihat wajahnya karena posisi wanita bercadar membelakangi sang pangeran.

Walaupun sang pangeran tidak bisa melihat wajahnya tapi sang pangeran tidak mau beranjak dari tempat itu. Dia tetap menunggu sampai wanita bercadar itu terlelap. Sebentar kemudian ruangan menjadi gelap dan sang pangeran tidak melihat apa-apa lagi. Rupanya wanita bercadar itu sengaja mematikan lentera di saat dia bobo.

Sebelum sang pangeran beranjak dari tempat dia berdiri, dia mendengar suara wanita itu. Sang pangeran mendekatkan telinganya di balik dinding pondok agar bisa mendengarkan lebih jelas suara wanita bercadar itu. Rupanya wanita bercadar itu sedang memanjatkan do’a sebelum bobo. Sang pangeran terbuahi dengan suaranya yang  lembut, begitu terdengar begitu merdu di telinganya.

Setelah suara wanita bercadar itu menghilang, sang pangeran beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Rupanya wanita bercadar itu sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Sang pangeran pun kembali ke tendanya. Dia baringkan tubuhnya di atas tikar sebagai alas tidurnya. Tapi matanya tidak juga mau terpejam. Di telinganya masih terngiang suara merdu wanita bercadar itu. Begitu membekas, hingga lafat do’a yang dia panjatkan tersimpan lekat di dalam memori ingatannya.

Malam semakin larut. Kesunyian semakin mendekap. Walau mata sang pangeran terpejam rapat tapi hatinya tetap terjaga. Ada kerinduan yang menggoda hatinya. Kerinduaan untuk melihat wajah asli wanita yang menghuni pondok kayu itu. Dia berharap malam segera berlalu dan dia bisa melihat wanita bercadar itu keluar dari pondoknya esok pagi.

Dinginnya udara pagi menyadarkan sang pangeran, bahwa waktu yang dia tunggu-tunggu telah tiba. Sang pangeran bergegas membuka tendanya. Dia segera mengenakan jaketnya untuk melawan rasa dingin yang menusuk kulitnya. Lalu keluar dari tenda. Pandangan matanya langsung tertuju ke arah pondok, dimana wanita bercadar itu tinggal. Seperti biasa dia selalu mengintai agar kehadirannya tdak diketahui oleh wanita bercadar itu.

Suasana alam begitu harmonis. Nyanyi burung-burung menyapa begitu riang. Mereka terbang dan kemudian bertengger di atas dahan berpsang-pasang. Ayunan daun-daun pinus seolah menari-nari, menghempaskan embun pagi dan jatuh di atas rerumputan. Mentari pagi mulai tersenyum. Sinarnya membias menerobos di selah-selah dedaunan.

Sementara itu, di dalam pondoknya, wanita bercadar telah usai menunaikan sholat shubuh. Dia ingin menikmati indahnya alam dan menyambut senyum sang mentari. Menghirup udara pagi nan segar, memandang indahnya alam nan hijau berseri.

Dia membuka jendela kamarnya. Tanpa mengenakan cadar lagi, dia duduk seraya menempelkan dagunya di atas kusen cendela. Dia tidak sadar, jika ada seseorang yang telah mengintainya. Dia tidak tau, jika ada seseorang yang selalu menantikan momentum ini. Yaitu wanita bercadar memperlihatkan paras cantiknya. Paras cantik yang alami, tanpa polesan bedak. Mata yang berbinar tanpa hiasan eyeshadow. Dan bibir yang indah tanpa goresan lipstik.

Sang pangeran merasa takjub dengan kecantikan wanita itu. Ternyata penatiannya selama semalam tidaklah sia-sia. Apa yang dia harapkan akhirnya datang juga. Yaitu bisa melihat wajah wanita bercadar yang membuat dia penasaran.

Tapi dalam hati sang pangeran masih bertanya-tanya. Mengapa wanita itu menyembunyikan wajah cantik di balik cadarnya? Mengapa wanita itu mengasingkan diri di dalam hutan ini? Apa alasan wanita itu mengenakan cadar? Padahal dia bukan wanita yang buruk rupa. Padahal kecantikan wanita itu begitu sempurna. Tanpa polesan kosmetik dia tetap cantik bersahaja. 


Rasa ingin tau yang begitu besar membuat sang pangeran ingin mendekati wanita itu. Dan pesona wanita itulah yang telah melulukan hati sang pangeran. Dia enggan kembali ke dunia maya. Dia berniat tinggal di sini agar dia selalu dekat dengan pujaan hatinya.

Jumat, 15 Agustus 2014

Manfa'at Buah Naga

0
Dulu buah yang berasal dari negeri paman Sam ini, sangatlah langka. Tapi karena sekarang banyak petani yang mbudidayakan buah ini, maka buah yang dengan nama latinnya "hylocereus polyrhizus" ini sudah banyak kita temui di toko" buah, bisa juga kita temukan di lapak pedagang buah di pinggir jalan. Harganya pun cukup terjangkau dan berfariasi. Dari 15 ribu s/d 30 ribu perkilo gram. 

Selain rasanya yang manis dan segar buah ini kaya akan zat dan nutrisi yang bermanfa'at tubuh kita, seperti:

  • Gula alami
  • Serat
  • Betakaroten
  • Kalsium
  • Lemak
  • Fosfor
  • Vitamin Bi, B2, dan C
  • Protein
  • dan zat" lain yang bermanfa'at bagi kesehatan.
Kandungan Serat (Fiber) dan Betakarotin yang tinggi, maka buah Naga memiliki 10 manfa'at tubuh kita.

10 Manfa'at buah Naga:
  1. Meningkatkan kekebalan tubuh
  2. Menghambat penuaan dini
  3. Meningkatkan nafsu makan
  4. Mencegah kangker
  5. Memperkuat tulang dan gigi
  6. Menurunkan kadar kolesterol
  7. Mencegah diabetes melitus
  8. Merawat kesehatan mata
  9. Merawat kelembutan dan kesehatan kulit
  10. Merawat jantung agar tetap sehat
Demikian sahabat Ladymate, info kesehatan yang dapat saya bagikan kepada anda.

                *SEMOGA BERMANFA'AT*

Kamis, 24 Juli 2014

Badai Kehidupanku

0
Hujan....

Tetesmu menyentuh kulitku


Dinginmu menusuk hatiku


Menghancurkan semangat hidupku


Meluluhlantakan segala asah 

Hingga aku jatuh dilanda gelisah


Angin....

Derasmu mengguncang raga


Menerpa hati yang dilanda duka


Merebahkan jiwa yang sedang lara


Merampas semua kebahagiaan

Hingga aku terpuruk dalam kesedihan





Jumat, 20 Juni 2014

Mawar Yang Terhempas

0
Senja yang kelam. Langit tertutup oleh awan hitam. Gelap... seperti hari sudah hampir malam. Sang mentaripun bersembunyi dibalik rimbunnya awan hitam. Sekelompok burung walet berarak, ingin kembali ke sarangnya. 

Aku masih berdiri di sini. Di bawah sebatang pohon dengan dedaunan yang rimbun. Di sinilah aku biasanya menunggunya. Setiap waktu jika aku ingin melepaskan rindu. Walau hanya sekejap. Walau hanya menikmati pandangan matanya. Walau tanpa pelukan hangat, tapi kedatangannya tetap ku nantikan. Tuk menjawab tutur sapanya. Tuk sekedar mendengar cerita indahnya. 

Titik-titik air hujan telah turun. Membasahi dedaunan yang berdebu. Membasahi jalanan, membasahi apapun yang ada di atas bumi. Tapi aku belum ingin beranjak dari tempatku berdiri. Aku berpikir, "mungkin dia sedikit terlambat datang." Untuk itu aku ingin bersabar. Biarlah rambut dan bajuku sedikit basah. Masih ada rimbunnya dedaunan, tempatku berteduh.

Mata ini sedikitpun tak mau berkedip, terus memandang ke arah, dimana biasanya dia datang. Aku tak ingin melewatkan waktu sedetikpun. Dan kehilangan moment yang mendebarkan hati ini. Dimana saat pertama kali aku menatap matanya yang penuh keteduhan.

Karena kesabaranku, akhirnya yang ku tunggu-tunggu datang juga. Jantung ini mulai berdetak dengan kencang. Dalam hati, aku ingin berteriak memanggilnya. Tapi bibir ini terasa pelu. Tak sanggup mengucap, walau hanya sepatah kata. Bisu... hanya gemuruh air hujan yang menyeruak. Titik-titiknya deras menguyur tubuhku. Aku tetap menunggunya sampai dia melihatku dan menyapaku.

Tapi apa yang ku harapkan, hanyalah sebuah angan-angan. Jangankan menyapaku, menoleh ke arahku saja dia tak sudi lagi. Apa yang terjadi pada dirinya. Kenapa dia tak meliahatku di sini? Yang sedang menunggunya. 

Kenapa dia tak peduli lagi denganku? Apakah dia sudah tak ingat lagi, mawar merah yang selalu dia kirimkan kepadaku. Mawar digenggamanku tak terasa jatuh terhempas. Hanyut dibawa air hujan.

Aku masih berharap dia kembali. Atau menoleh ke arahku dan melihatku yang sedang tersungkur memunguti untaian mawar yang tercecer di atas air hujan. Aku berharap dia menaruh belas kasihan kepadaku, sehingga dia menolongku, memunggut setangkai mawar untukku.

Tapi apa yang ku harapkan tak pernah terjadi. Dia membiarkan aku sendirian. Kepedian hati ini tak berhenti sampai di sini. Ternyata dia kembali lewat  di depanku bersama wanita lain. Berjalan sepayung berdua dan seolah-olah tidak melihatku. Betapa hancur hati, ceceran mawar ku biarkan hanyut dibawa air hujan. Karena durinya telah menusuk hatiku.

Apa yang terjadi sungguh membuat tubuhku lunglai. Kepedihan hati ini terasa perih. Aku berjalan tanpa arah tujuan. Melewati malam yang gelap. Menerjang hujan yang tak kunjung redah. Seperti derasnya air mata yang meleleh di pipiku.


Kamis, 12 Juni 2014

Malam Nisfu Syaban

0
Ketika Purnama mulai membias di langit senja
Ku tatap langit tampak bercahaya
Sinar terangnya begitu bersahaja
Illahi Robbi sang Pencipta alam semesta

Ya... Allah 
Ya... Robbi
Hambamu ingin mensucikan hati
Membersihkan segala noda 
Memohon ampunan dari segala dosa

Ya... Allah
Aku bersujud di hadapanMu
Memohon atas berkahMu 
Mudahkan kami mencari rizki
Lancarkanlah urusan duniawi

Ya... Allah
Aku bersimpuh di depanMu
Terangi hati dan jiwaku
Dengan rahmat dan hidayahmu
Mudahkanlah jalanku menuju surgamu







Kamis, 05 Juni 2014

Pemuja Cinta

0
Kasih....

Malam ini aku menunggumu

Menitih malam tuk membalut rindu

Ajaklah aku terbang ke awan

Dekaplah aku dalam pelukan


Kasih....

Cumbui harumnya mawar merahku

Sirami dengan kasih sayangmu

Hangatkan dengan tulus cintamu

Hingga menyatu jiwa dalam geliat tubuhku




Sabtu, 24 Mei 2014

Udang Saos Pedas Ala Ladymate

0
Sahabat Ladymate... jumpa lagi dengan kuliner ala Ladymate. Kali ini saya share kuliner sari laut sebagai bahan utamanya yaitu Udang.

Bahan-bahan:
1/4 udang segar berukuran sedang
2 buah wortel

Bumbu-bumbunya:
3 siuang bwg putih
4 bj bwg merah
10 bj cabe
1 btg bwg pre
2 sdm saos pedas
1/2 sdt saos tiram
1 sdm kescap manis
Garan, gula psr, pepsin secukupnya.
Minyak goreng secukupnya untuk menumis bumbu.

Cara membuatnya:

  1. Udang dibersihkan lalu goreng setengah matang. Wortel dikupas, cuci bersih lalu iris tipis serong.
  2. Bawang putih dikeprok iris tipis. Bawang merah iris tipis. Cabe dan bawang pre iris serong
  3. Semua bumbu ditumis dg minyak grg panas sampai berubah warna n beraroma harum. Lalu tambahkan sedikit air. Masukan udang dan irisan wortel. Tambahkan garang, gula pasir, pepsin, saos tiram, saos pedas dan kecap manis. Aduk rata dan tunggu sayuran layu hingga kuah menggental lalu angkat. Dan hidangkan.
SELAMAT MENCOBA!

   

Senin, 19 Mei 2014

AIR MATA CINTA

0

Ke hutan aku berlari
Di dalam hutan aku duduk di tepi sungai
Riak-riak airnya menambah pedih di hati
Aku menangis dan air mataku jatuh di atas air sungai

Titik-titik air mataku larut dan tiada berbekas
Tapi cinta dan sayangku tetaplah membekas
Terukir di dalam hatiku
Terpatri di dalam jiwaku

Tiba-tiba hujan turun dengan deras
Disertai angin datang menghempas
Menghempaskan hati dan jiwaku
Hingga aku tak perdaya karena cinta yang semu

Oh... Tuhan, tuntunlah hambamu yang lemah ini
Telah terpedaya oleh kenikmatan yang tak hakiki
Hingga melupakan karunia yang abadi
Ternyata hanya kasihMu yang tak pernah berhenti





Sabtu, 19 April 2014

Menunggu Bintang

0
Sang mentari mulai temggelam di ufuk barat. Itu suatu pertanda bahwa tugasnya telah berakhir. Langit mulai dihiasi oleh kiasan berwarna jingga. Seiring datangnya warna gelap yang menyelimuti langit biru, kiasan berwarna jingga perlahan menghilang. Awan hitam datang berarak-arak menutupi indahnya malam. Kecantikan malam semakin memudar.

Aku duduk di sini. Di bawah langit yang semakin kelam. Aku menunggumu. Menunggu bintang yang engkau janjikan. Bintang yang bersinar terang. Tapi tak satupun bintang yang tampak di sini. Yang ada hanyalah sepi. Begitu sepi sesepi hatiku. Gelap segelap rasa yang ada di dalam jiwaku. Rintihan kerinduan begitu menyayat.

Rembulan yang biasanya menghiasi indahnya malam tak jua ada di atas sini. Yang ada hanyalah gelap. Kecantikan wajah sang rembulan tak tampak karena dihalangi oleh gumpalan awan hitam. Wajah cantik sang rembulan yang anggun menjadi murung dan sedih. Dia sangat kecewa. Seperti kekecewaan dalam hatiku. Sejak senja dia sudah bersolek dan ingin menampakan wajah cantiknya, tapi awan gelap menghalanginya.

Aku masih di sini. Tetap menunggu hingga larutpun tiba. Tapi bintang yang kau janjikan tak jua datang. Yang ada hanya rintihan binatang malam yang kedinginan. Seperti rintihan dalam hatiku yang menunggumu dalam kesepian.

Teman malamku pun mulai berdatangan. Hembusan angin malam mendayu-dayu. Melantunkan lagu kerinduan. Membisik syair-syair kesedihan. Seolah-olah mengiris hati yang kesepian. Rasa dinginnya begitu menusuk di kalbu.

Malam semakin larut. Aku tetap di sini, tapi bintang yang kau janjikan tak jua datang. Rasa benci dan rindu mulai datang menyelimuti hatiku. Dua rasa ini bak dua mata pisau yang sama tajamnya menusuk ke dalam dadaku. Begitu perih. Begitu pedih. Tapi kau tak pernah peduli.

Gerimis mulai turun. Menyapu debu-debu di atas dedaunan. Aku segera mencari tempat untuk berteduh. Tapi aku tak jua menyerah. Aku berharap setelah hujan reda, bintang yang kau janjikan akan muncul di atas sana.

Hujan semakin deras. Sederas air mata yang meleleh di pipiku. Tapi engkau tak pernah tahu. Apa yang terjadi di sini. Aku tetap menunggu hingga malampun berakhir. Bintang yang kau janji tak pernah datang. Hanya air mata yang menjadi saksi kepedihan hati ini. 

Kamis, 17 April 2014

Kekasih abadi

0
Kasih...
Dalam setiap detak jantungku
Dalam setiap desah napasku
Ku sebut namaMu
Menghiasi relung hatiku.

Selama hela napas ini masih berbaur dengan denyut nadiku
Aku selalu mengingatMu
Karena Kaulah kekasih yang tak pernah meninggalkanku.
Meskipun aku kadang lalai dengan panggilanMu.

Kau tak pernah memintaku untuk dekat denganMu,
Tapi Kau selalu mengawasi dan menjagaku.
Kau tak pernah mencampakanku
Meskipun dosa dan nista mengalir dalam darahku.

Kaulah Sang Penguasa hati
Kaulah Kekasih abadi
Penyejuk jiwa dalam dahaga
Pengampun dalam noda dan dosa

              Samarinda, 17 April 2014
              by : Ainun Sugianto


Senin, 17 Maret 2014

MISTERI CINTA PUTRI BERCADAR

0
Lamat-lamat ku dengar suara Adzan Shubuh. Riuhnya ayam berkokok bersahut-sahutan seolah-olah ingin menjawab gema suara adzan. Badan masih ingin menggeliat, mata ini masih terasa berat untuk dibuka. Tapi aku berusaha menyibak selimut. Aku tak ingin kehilangan waktuku untuk menyampaikan rasa rinduku kepada kekasihku. Kekasih yang menciptakanku dan yang memberiku desah nafas sampai detik ini. Yaitu Allah yang menguasai semesta alam.

Usai menunaikan ibadah sholat shubuh ku nikmati segarnya air putih untuk membasahi kenggorokanku yang telah mengering. Ku buka jendela, ku rasakan sejuknya udara pagi seolah berebut masuk ke dalam ruangan. Ruangan yang pengap, karena telah dipenuhi oleh karbon dioksida semalaman.

Di luar sana, alam persada begitu indah menakjubkan. Keindahannya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Pohon-pohon pinus berayun-ayun diterpa oleh angin. Daun-daunnya seolah-olah ingin berjabatan. Harum aromanya begitu khas. Aroma khas alami. Hutan pinus yang belum terjamah oleh polusi.

Ku ayunkan langkah kakiku. Aku ingin menikmati indah pagi dan menyambut senyum sang mentari. Sejuknya embun pagi masih terasa membasahi telapak kakiku. Jalanan setapak ini masih ditumbuhi oleh rimbunnya rerumputan.

Aku terus berjalan, hingga aku tak sadar bahwa aku sudah jauh meninggalkan tempat tinggalku. Dan telah jauh masuk ke dalam hutan. Aku ingin kembali pulang. Aku tak ingin terlalu jauh di dalam hutan dan membuatku tersesat. Tapi ketika ku membalikan badanku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sosok seorang wanita. Aku tersentak.

“Benarkah apa yang ku lihat ini? Mungkinkah ada seorang wanita yang tinggal di dalam hutan ini?” Tanya dalam hatiku.

Tubuhku jadi gemetaran. Bulu kudukku terasa berdiri. Aku jadi berhalusinasi.
“Mungkinkah dia bukan manusia? Atau dia seorang bidadari atau peri yang tersesat di hutan ini?” Tanya dalam hatiku lagi.

Aku ingin berlari sejauh mungkin. Meninggalkan tempat ini, sebelum dia melihatku. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku masih merasa penasaran. Siapakah sebenarnya wanita itu. Kalau dilihat dari bentuk tubuhnya sepertinya dia wanita yang sangat cantik. Sebelum dia berbalik badan dan melihatku. aku berusaha bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan.

Di balik pohon itulah aku merasa aman. Aku bisa melihat gerak gerik wanita itu. Aku bisa leluasa memperhatikan dia dan dia tidak akan melihatku. Hatiku semakin penasaran. Rasa ingin tahuku semakin besar. Siapakah sebenarnya wanita itu?

Ketika dia membalikan badannya, aku merasa lega karena aku akan melihat raut wajah wanita itu. Oh... tapi ternyata aku tak dapat melihat raut wajah wanita itu, karena dia memasang cadar untuk menutupi wajahnya. Cadarnya begitu lucu. Berupa raut wajah gadis cilik yang menggemaskan. Aku semakin ingin tahu, apa maksud wanita itu. Kenapa di dalam hutan seperti ini dia menggunakan cadar? Apakah dia buruk rupa? Atau wajahnya cacat karena kecelakaan?
Karena aku merasa penasaran, maka akupun memberanikan diri menghampiri wanita itu. Dia sepertinya terkejut dengan kehadiranku. Lalu dia berkata: “Hai... siapa kamu?” Sapa wanita itu jutek.

“Aku tersesat sahabat, bisakah kamu membantuku keluar dari hutan ini.” Jawabku beralasan.

“Oh... dimana rumahmu?” Tanya dia lebih datar

“Di pinggir hutan ini, tapi aku tidak tahu ke arah mana jalan pulang.” Jawabku cemas.

“Ayolah... aku temani kamu mencari jalan pulang.” Ajaknya tulus.

Kamipun berjalan beriringan melewai jalan setapak. Hatiku merasa lega karena dia menunjukan sikap bersahabat denganku. Aku terus memperhatikan dia. Dilihat dari penampilannya wanita ini begitu anggun. Tapi hatiku masih diliputi rasa ingin tahu, kenapa dia menutupi wajahnya dengan cadar.

“Boleh aku tahu sahabat, kenapa sahabat mengenakan cadar untuk menutupi wajahmu?” Sapaku memecahkan keheningan.

“Karena aku tidak ingin orang lain melihat wajahku.” Jawabnya santai.

“Oh... apakah kamu juga ingin menyembunyikan wajahmu dariku?” Tanyaku masih penasaran.

“Ho oh.” Jawabnya singkat.

“Ayolah sahabat...  kamu sudah bersedia menolongku, janganlah engkau menganggapku orang lain, maukah kamu membuka cadarmu, agar aku bisa mengenali wajahmu.” Dengan berbagai cara aku membujuknya.

“Tapi kamu harus berjanji kepadaku, bahwa kamu bersedia merahasiakan hal ini!” Pintanya serius.

“Ok... aku janji, takkan ada seorangpun yang akan mengetahui pertemuan kita ini.” Jawabku serius.

Kami berhenti sejenak. Sembari beristirahat kami duduk di atas batang pohon besar yang hampir roboh. Dan dengan perlahan wanita di hadapanku ini mulai berusaha membuka cadar yang menutupi wajahnya. Aku berusaha membantunya karena dia tampak sedikit kesulitan membuka cadarnya. Aku terperangah setelah aku melihat raut wajahnya. Wajahnya terlihat elok dan rupawan.

Seraya berdecak kagum aku bertanya :”Wajah sahabat tampak begitu elok dan bersahaja, tapi kenapa sahabat menutupi wajah sahabat?”

Dia hanya tersenyum tanpa mengucap sepatah kata. Pandangan matanya jauh ke depan, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Aku semakin ingin tahu apa yang ada di benak wanita itu.

“Ku kira sahabat memiliki wajah yang sangat buruk atau cacat, sehingga sahabat malu memperlihatkan wajah sahabat.” Bibirku sudah tak tahan lagi ingin berucap.

“Aku menyembunyikan wajahku, karena aku tak ingin ada laki-laki yang jatuh cinta kepadaku, jika melihat wajahku.” Dia mulai berterus terang.

“Kenapa demikian sahabat, sedangkan di luar sana banyak wanita memamerkan tubuh dan wajahnya, agar dia dicintai oleh banyak lelaki, tapi sahabat malah tidak ingin dicintai oleh lelaki manapun.” Ucapku beralasan.
“Cinta hanya membawa penderita bagiku, cintaku telah pergi… entah kemana, setelah aku begitu menyitainya.” Ucapnya terbatah-batah.

Mata wanita itu mulai berkaca-kaca. Rupanya penderiataan cintanyalah, yang membuat dia jerah dan tak ingin dicintai lagi. Kini aku mulai mengerti mengapa dia menutupi wajah cantiknya dengan cadar.

“Tapi… di hutan ini tak ada siapa-siapa sahabat, tak ada manusia lain selain kita berdua dan tidak akan ada laki-laki yang jatuh cinta dengan kecantikan sahabat.” Tambahku kemudian.

Dia hanya tersenyum, penuh tanda tanya kepadaku. Kemudian dia berucap : “Sahabat terlalu jauh berjalan, sehingga sahabat tidak sadar bahwa sahabat sedang tersesat.”

Aku meninggikan pundakku, karena aku masih binggung. Aku benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi pada diriku.

“Ini bukan hutan sahabat, ini Dunia Maya, binatang jalang banyak berkeliaran di sekitar sini, jika mereka melihat wanita cantik, mereka pasang aksi untuk godain kita.” Jelasnya tegas.

Aku hanya geleng-geleng kepala, seakan-akan aku tak percaya apa yang telah terjadi….




Jumat, 21 Februari 2014

Hujan di pagi hari

0
Pagi itu langit kota Samarinda dipayungi awan hitam. Titik-titik air hujan mulai jatuh di atas helm yang ku pakai. Ku terus bertahan dan terus melanjutkan laju motorku, karena setumpuk surat jalan sudah menunggu di meja kerjaku. Lalu lalang kendaraan yang lain juga tak berhenti melaju. Tak peduli dengan titik-titik air yang semakin deras jatuh ke bumi, membasahi jalanan kendaraan kami. Sepertinya mereka juga punya misi yang sama denganku, cepat sampai di tempat tujuan dan menyelesaikan tugas yang sudah menunggu di meja kerja mereka masing-masing.

“Ampun…” Desah dalam hatiku.

Hujan semakin deras. Aku nggak mungkin lagi melanjutkan laju motorku. Aku harus berhenti sejenak untuk berteduh. Em…kebetulan ada sebuah ruko dipingging jalan. Di depan ruko terdapat teras yang biasanya dipergunakan  untuk lahan parkir oleh para pelanggannya. Pemilik ruko belum melakukan aktifitasnya. Pintu ruko masih tertutup rapat.

Mungkin pemilik ruko masih ngorok karena udara dingin seperti ini, para bos biasanya lebih asyik bergumul di dalam selimut. Melanjutkan mimpi yang belum usai, atau memeluk pasangan tercinta. Mencari rejeki bisa ditunda, karena isi brankas masih berjubel didalamnya. Duet di bank juga nggak akan habis, biarpun ditarik isinya ribuan kali.

Beda dengan wong cilik seperti aku. Lamat-lamat mendengar suara adzan shubuh sudah menyibak selimut. Mengambil air wudhu, menyelesaikan kewajiban sebelum fajar tiba. Menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga dan buru-buru berangkat nguli. Memacu motor  butut di atas jalanan berlumpur.

Ku rapatkan sepedaku di teras ruko yang beratapkan fiber. Teras ini cukup luas. Ada beberapa motor yang sudah parkir di situ dengan tujuan yang sama denganku yaitu berteduh. Ada satu orang yang tersenyum menyambutku. Senyumannya terlihat tulus. Aku sambut senyumnya semanis mungkin. Dia menggeser posisi berdirinya sebagai tanda bahwa dia menawarkan tempat berdiri di sebelahnya.

Sementara yang lainnya cuek saja seraya menahan dingin yang menderah tubuh mereka. Aku juga merasakan hal sama. Pakaian yang ku kenakan sudah sedikit basah. Sehingga rasa dingin semakin mengiksaku. Tapi tak apalah. Aku tak perlu mengkhawatirkan diriku. Badan diguyur air hujan sudah biasa aku alami.

Semasa kecilku hampir setiap hari, aku mandi di bawah air hujan. Bersama teman-teman sepermainku, aku bermain tanpa memperdulikan teriakan emak yang sering kali melarangku bermain hujan-hujanan. Bila mengenang masa kecil, sungguh sangat menyenangkan. Rasanya aku ingin kembali ke masa kecilku. Masa dimana kita bisa hidup bebas tanpa beban. Akupun tersenyum sendiri tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarku.

“Ayo bu... saya duluan.” Sapa laki-laki di sebelah mengagetkan.

“I... ya, silakan” Jawabku terbata-bata.

Karena asyik dengan dunia masa kecilku, aku jadi tidak menyadari kalau hujan telah berhenti. Orang-orang yang berteduh sudah meninggalkan tempat ini, sedangkan aku masih terbengong sendirian.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menstarter motor bututku. Untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjaku. Aku sedikit menaikkan kakiku karena aku ingin menghindari air yang muncrat mengenai celanaku. Biasalah kalau sehabis hujan turun, jalanan menjadi becek dan digenangi oleh air hujan.

Ketika sampai di persimpangan jalan, aku berpapasan dengan truk tangki. Truk tangki yang tidak asing lagi bagiku, karena setiap hari aku mengurus surat jalan buat para driver. Sungguh mengejutkan sapaannya kepadaku. Seperti sebuah tamparan. Air yang menggenang di jalanan muncrat mengenai wajah dan bajuku. Tapi masih untung kaca helmku menyelamatkan wajahku dari tamparan air tersebut.

Dalam hati aku mengumpat. Tapi itupun tak mengembalikan keadaan. Helm dan bajuku tetap saja basah dan kotor. Terasa percuma aku berteduh untuk menghindari baju basah tadi itu. Toh... pada akhirnya baju dan badanku tetap basah, kotor lagi... sungguh benar-benar tidak menyenang pagi itu. Akhirnya aku hanya bisa mengeluh.

Sesampai di tempat kerja, ku coba membersihkan kotoran yang menempel di bajuku dengan air bersih. Sambutan teman-teman tak kalah hebohnya. Apa lagi kalau bukan ngetawain aku. Biarlah mungkin hari aku benar-benar kurang beruntung. Ku coba hangatkan badan dan hatiku dengan segelas teh hangat.



 

Blog List