Pagi itu langit kota
Samarinda dipayungi awan hitam. Titik-titik air hujan mulai jatuh di atas helm
yang ku pakai. Ku terus bertahan dan terus melanjutkan laju motorku, karena setumpuk surat jalan sudah menunggu di meja kerjaku. Lalu
lalang kendaraan yang lain juga tak berhenti melaju. Tak peduli dengan titik-titik
air yang semakin deras jatuh ke bumi, membasahi jalanan kendaraan kami. Sepertinya
mereka juga punya misi yang sama denganku, cepat sampai di tempat tujuan dan
menyelesaikan tugas yang sudah menunggu di meja kerja mereka masing-masing.
“Ampun…” Desah dalam
hatiku.
Hujan semakin deras.
Aku nggak mungkin lagi melanjutkan laju motorku. Aku harus berhenti sejenak untuk berteduh.
Em…kebetulan ada sebuah ruko dipingging jalan. Di depan ruko terdapat teras
yang biasanya dipergunakan untuk lahan
parkir oleh para
pelanggannya. Pemilik ruko belum melakukan aktifitasnya. Pintu ruko masih
tertutup rapat.
Mungkin pemilik ruko
masih ngorok karena udara dingin seperti ini, para bos biasanya lebih asyik
bergumul di dalam selimut. Melanjutkan mimpi yang belum usai, atau memeluk
pasangan tercinta. Mencari rejeki bisa ditunda, karena isi brankas masih
berjubel didalamnya. Duet di bank juga nggak akan habis, biarpun ditarik isinya
ribuan kali.
Beda dengan wong cilik
seperti aku. Lamat-lamat mendengar suara adzan shubuh sudah menyibak selimut. Mengambil
air wudhu, menyelesaikan kewajiban sebelum fajar tiba. Menyiapkan sarapan pagi
untuk keluarga dan buru-buru berangkat nguli. Memacu motor butut
di atas jalanan berlumpur.
Ku rapatkan sepedaku di
teras ruko yang beratapkan fiber. Teras ini cukup luas. Ada beberapa motor yang
sudah parkir di situ dengan tujuan yang sama denganku yaitu berteduh. Ada satu orang
yang tersenyum menyambutku. Senyumannya terlihat tulus. Aku sambut senyumnya
semanis mungkin. Dia menggeser posisi berdirinya sebagai tanda bahwa dia
menawarkan tempat berdiri di sebelahnya.
Sementara yang lainnya
cuek saja seraya menahan dingin yang menderah tubuh mereka. Aku juga merasakan
hal sama. Pakaian yang ku kenakan sudah
sedikit basah. Sehingga rasa
dingin semakin mengiksaku. Tapi tak apalah. Aku tak perlu mengkhawatirkan
diriku. Badan diguyur air hujan sudah biasa aku alami.
Semasa kecilku hampir setiap hari, aku mandi di bawah air hujan. Bersama
teman-teman sepermainku, aku bermain tanpa memperdulikan teriakan emak yang
sering kali melarangku bermain hujan-hujanan. Bila mengenang masa kecil,
sungguh sangat menyenangkan. Rasanya aku ingin kembali ke masa kecilku. Masa
dimana kita bisa hidup bebas tanpa beban. Akupun tersenyum sendiri tanpa
memperdulikan orang-orang di sekitarku.
“Ayo bu... saya duluan.” Sapa laki-laki di sebelah mengagetkan.
“I... ya, silakan” Jawabku terbata-bata.
Karena asyik dengan dunia masa kecilku, aku jadi tidak menyadari kalau
hujan telah berhenti. Orang-orang yang berteduh sudah meninggalkan tempat ini,
sedangkan aku masih terbengong sendirian.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menstarter motor bututku. Untuk
melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjaku. Aku sedikit menaikkan kakiku
karena aku ingin menghindari air yang muncrat mengenai celanaku. Biasalah kalau
sehabis hujan turun, jalanan menjadi becek dan digenangi oleh air hujan.
Ketika sampai di persimpangan jalan, aku berpapasan dengan truk tangki.
Truk tangki yang tidak asing lagi bagiku, karena setiap hari aku mengurus surat
jalan buat para driver. Sungguh mengejutkan sapaannya kepadaku. Seperti sebuah
tamparan. Air yang menggenang di jalanan muncrat mengenai wajah dan bajuku.
Tapi
masih untung kaca helmku menyelamatkan wajahku dari tamparan air tersebut.
Dalam hati aku mengumpat. Tapi itupun tak mengembalikan keadaan. Helm
dan bajuku tetap saja basah dan
kotor. Terasa percuma aku berteduh untuk menghindari baju basah
tadi itu. Toh... pada
akhirnya baju dan badanku tetap basah, kotor lagi... sungguh benar-benar
tidak menyenang pagi itu. Akhirnya
aku hanya bisa mengeluh.
Sesampai di tempat kerja, ku coba membersihkan kotoran yang menempel di bajuku
dengan air bersih. Sambutan teman-teman tak kalah hebohnya. Apa lagi kalau
bukan ngetawain aku. Biarlah mungkin hari aku benar-benar kurang beruntung. Ku
coba hangatkan badan dan hatiku dengan segelas teh hangat.
0 komentar:
Posting Komentar