Selasa, 30 September 2014

KISAH PANGERAN DUMAY DAN PUTRI BERCADAR

Ada seorang pangeran tampan. Dia merasa bosan dengan hingar bingar dunia maya. Dia merasa jenuh melihat ulah gadis-gadis yang begitu glamor. Dia merasa tak nyaman lagi dipameri paha dan dada yang selalu membuai halusinasinya. Dia ingin mencari ketenangan jiwa. Dia ingin meninggalkan dunia glamor yang hanyalah suatu kenikmatan dunia semata. Kenikmatan yang bersifat sementara.

Dia ingin melakukan perjalanan. Menikmati indahnya alam yang asri dengan rimbunnya pepohonan. Menikmati segarnya udara pagi yang nyaman tanpa polusi. Dengan bekal seadanya dia berjalan memasuki sebuah hutan.

Dengan tas ransel di punggungnya dia terus berjalan tanpa mengenal lelah. Dan sesekali dia memetik sebatang ranting kering. Sambil berjalan dipatah-patahkannya ranting itu hingga tak tersisa lagi di tangannya. Lalu dia memetik ranting kering lagi dan dia patah-patahkan lagi hingga habis.

Setelah kakinya mulai merasa lelah, dia berhenti dan mencari tempat untuk beristirahat. Di bawah sebatang pohon yang rindang, dia berhenti dan meletakan tas ransel yang ada punggungnya. Lalu dia duduk seraya menyandarkan punggungnya di pohon itu. Dia mengambil bekal air minum di dalam tas yang ada di sampingnya. Dia ingin membasahi tenggorokannya yang mulai mengering.

Sambil menikmati pemandangan alam yang elok bersahaja, dia ingin menghirup udara segar alami yang bebas dari polusi. Dia melihat-lihat alam di sekelilingnya. Bebatuan, pepohonan dan rumput ilalang. Suara suitan burung-burung liar bersaut-sautan adalah harmoni alam yang menentramkan jiwanya.

Ketika mata sang pangeran menatap jauh ke depan. Dia tersentak, sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Nan jauh di sana, dia melihat sekelebat bayangan manusia. Terlihat samar-samar, bayangan itu membuat sang pangeran semakin penasaran. “Mungkinkah ada manusia lain, selain diriku di dalam hutan ini?” itulah yang berkecamuk di dalam benak sang pangeran saat itu.

Sang pangeran beranjak dari tempat duduknya. Seraya meletakan kembali tas ransel di atas punggungnya, dia berjalan pelan-pelan. Dengan berhati-hati dia mulai mendekati bayangan itu. Seperti sang pemburu yang sedang mengintai buruannya. Semakin dekat sang pangeran semakin berhati-hati karena bayangan itu semakin terlihat sempurna. Dia bersembunyi di balik pohon dan semak belukar, agar intaiannya tidak melihat dirinya.

Ketika bayangan itu terlihat semakin jelas, sang pangeran tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Ternyata bayangan itu adalah sosok seorang wanita. Dia terus mengusap-usap matanya dan membelalakan matanya di balik rimbunnya pepohonan. Karena dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. “Mungkinkah ada seorang wanita yang tinggal di hutan ini... atau dia seorang peri...” Pertanyaan itu terus terbersit di dalam benaknya.

Dia terus memperhatikan wanita itu. Sepertinya dia sedang memetik sayuran dan buah. Sang pangeran semakin dibuat penasaran, karena dia tidak bisa melihat raut wajah wanita itu. wanita itu terus membelakangi sang pangeran, sehingga dia terus berusaha mencari posisi yang tepat, agar bisa melihat raut wajah wanita itu. “Meskipun pakaian yang dikenakan oleh wanita itu begitu sederhana tapi wanita itu terlihat anggun, tentunya dia seorang wanita yang berparas cantik jelita.Bisik dalam hati sang pangeran.

Rupanya wanita itu sudah selesai memetik sayuran dan buah. Dia mengangkat keranjang dan menjijing keranjang yang sudah penuh dengan sayuran dan buah. Sang pangeran terus memperhatikan gerak gerik wanita itu. Sang pangeran terlihat sedikit lega karena wanita itu membalikan badan, dengan begitu sang pangeran bisa melihat raut wajah wanita itu.

Hah... oh oh” sang pangeran kembali dibuat terkejut, setelah wanita itu membalikan badannya, karena sang pangeran tetap saja tidak bisa melihat raut wajah wanita itu. Ternyata wanita itu menutupi wajahnya dengan cadar. Cadar yang dipasang wanita itu terlihat lucu. Cadar yang bergambar wajah gadis kecil yang manis dan imut. Sang pangeran terlihat sangat kecewa dan terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri “Apakah dia seorang wanita yang buruk rupa, atau wajahnya cacat sehingga dia menutupi wajahnya dengan cadar dan dia malu dengan orang-orang di sekelilingnya, sehingga dia mengasingkan diri di hutan ini.

Wanita bercadar itu berjalan ke arah sang pangeran sambil menjijing keranjang sayurnya. Sang pangeran berusaha menyembunyikan dirinya di balik rimbunnya pepohonan agar kehadirannya tidak diketahui oleh wanita itu. Sambil mengendap-endap Sang pangeran berusaha mengikuti wanita itu. Sang pangeran semakin penasaran, rasa ingin tahunya semakin besar terhadap wanita itu.

Oh… ternyata di dalam hutan ini ada sebuah pondok. Podok sederhana yang terbuat dari kayu. Rupanya di pondok itulah wanita bercadar itu tinggal. Wanita bercadar itu buru-buru masuk ke dalam pondok dan menutup kembali pintu pondok dengan rapat.

Di pondok sederhana inilah putri bercadar melakukan kegiatan sehari-hari. Memasak, mencuci dan kegiatan yang lainnya. Dia selalu mengenakan cadar bila keluar dari pondok, tapi jika di dalam pondok dia membuka cadarnya. Walaupun sendiri dan jauh dari hingar-binger kehidupan dunia, dia merasa injoy berada di tempat ini.

Sementara itu di luar sana, Sang Pangeran semakin merasa penasaran. Apa yang terjadi dengan wanita itu sehingga dia mengasingkan diri di dalam hutan ini. Maka dia segera mendirikan tenda. Tenda kemping yang berukuran kecil. Dia ingin menginap di hutan ini. Dia sangat penasaran dengan wanita bercadar itu. Dia memasang tendanya di balik semak belukar, agar kehadirannya tidak diketahui oleh wanita bercadar itu.

Malam telah tiba. Sang rembulan tampak begitu sempurna. Raut wajahnya yang cantik selalu tersenyum. Menghiasi langit ditemani sang bintang. Suara burung malam mengalunkan melody kerinduan. Begitu syadu terdengar mendayu-dayu.

Sang pangeran mulai menyalakan lampu emergency sebagai alat penerangan di dalam tendanya. Untung saja dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal, jika sewaktu-waktu dia harus menginap di dalam hutan, termasuk bekal makanan.

Sementara itu di dalam pondok terlihat samar-samar cahaya lentera. Cahaya yang menerangi ruangan di dalam pondok itu. Sang pangeran selalu memperhatikan pondok itu, terutama pintu pondok, karena sang pangeran selalu berharap dia bisa melihat wanita bercadar itu keluar dari dalam pondok. Tapi dari mulai sang pangeran berada di tempat itu, hingga malam tiba wanita bercadar itu tidak pernah keluar lagi dari pondoknya.

Rasa ingin tahu yang begitu besar membuat sang pangeran memberanikan diri untuk mendekati pondok itu. Dia ingin tahu apa saja yang dilakukan wanita bercadar itu di dalam pondok. Di selah-selah lubang dinding kayu, sang pangeran mulai mengintip. Berkali-kali dia mencoba menemukan dimana gerangan wanita bercadar itu berada.

Namun pada akhirnya sang pangeran menemukan wanita itu di dalam kamarnya. Hati sang pangeran pun merasa lega. Rupanya wanita bercadar itu sudah bersiap-siap mendekap malam. Dan mengukir mimpi indahnya. Rambutnya yang panjang hitam legan diurai. Cadar yang menutupi wajahnya pun dilepas. Tapi sayang, sang pangeran belum bisa melihat wajahnya karena posisi wanita bercadar membelakangi sang pangeran.

Walaupun sang pangeran tidak bisa melihat wajahnya tapi sang pangeran tidak mau beranjak dari tempat itu. Dia tetap menunggu sampai wanita bercadar itu terlelap. Sebentar kemudian ruangan menjadi gelap dan sang pangeran tidak melihat apa-apa lagi. Rupanya wanita bercadar itu sengaja mematikan lentera di saat dia bobo.

Sebelum sang pangeran beranjak dari tempat dia berdiri, dia mendengar suara wanita itu. Sang pangeran mendekatkan telinganya di balik dinding pondok agar bisa mendengarkan lebih jelas suara wanita bercadar itu. Rupanya wanita bercadar itu sedang memanjatkan do’a sebelum bobo. Sang pangeran terbuahi dengan suaranya yang  lembut, begitu terdengar begitu merdu di telinganya.

Setelah suara wanita bercadar itu menghilang, sang pangeran beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Rupanya wanita bercadar itu sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Sang pangeran pun kembali ke tendanya. Dia baringkan tubuhnya di atas tikar sebagai alas tidurnya. Tapi matanya tidak juga mau terpejam. Di telinganya masih terngiang suara merdu wanita bercadar itu. Begitu membekas, hingga lafat do’a yang dia panjatkan tersimpan lekat di dalam memori ingatannya.

Malam semakin larut. Kesunyian semakin mendekap. Walau mata sang pangeran terpejam rapat tapi hatinya tetap terjaga. Ada kerinduan yang menggoda hatinya. Kerinduaan untuk melihat wajah asli wanita yang menghuni pondok kayu itu. Dia berharap malam segera berlalu dan dia bisa melihat wanita bercadar itu keluar dari pondoknya esok pagi.

Dinginnya udara pagi menyadarkan sang pangeran, bahwa waktu yang dia tunggu-tunggu telah tiba. Sang pangeran bergegas membuka tendanya. Dia segera mengenakan jaketnya untuk melawan rasa dingin yang menusuk kulitnya. Lalu keluar dari tenda. Pandangan matanya langsung tertuju ke arah pondok, dimana wanita bercadar itu tinggal. Seperti biasa dia selalu mengintai agar kehadirannya tdak diketahui oleh wanita bercadar itu.

Suasana alam begitu harmonis. Nyanyi burung-burung menyapa begitu riang. Mereka terbang dan kemudian bertengger di atas dahan berpsang-pasang. Ayunan daun-daun pinus seolah menari-nari, menghempaskan embun pagi dan jatuh di atas rerumputan. Mentari pagi mulai tersenyum. Sinarnya membias menerobos di selah-selah dedaunan.

Sementara itu, di dalam pondoknya, wanita bercadar telah usai menunaikan sholat shubuh. Dia ingin menikmati indahnya alam dan menyambut senyum sang mentari. Menghirup udara pagi nan segar, memandang indahnya alam nan hijau berseri.

Dia membuka jendela kamarnya. Tanpa mengenakan cadar lagi, dia duduk seraya menempelkan dagunya di atas kusen cendela. Dia tidak sadar, jika ada seseorang yang telah mengintainya. Dia tidak tau, jika ada seseorang yang selalu menantikan momentum ini. Yaitu wanita bercadar memperlihatkan paras cantiknya. Paras cantik yang alami, tanpa polesan bedak. Mata yang berbinar tanpa hiasan eyeshadow. Dan bibir yang indah tanpa goresan lipstik.

Sang pangeran merasa takjub dengan kecantikan wanita itu. Ternyata penatiannya selama semalam tidaklah sia-sia. Apa yang dia harapkan akhirnya datang juga. Yaitu bisa melihat wajah wanita bercadar yang membuat dia penasaran.

Tapi dalam hati sang pangeran masih bertanya-tanya. Mengapa wanita itu menyembunyikan wajah cantik di balik cadarnya? Mengapa wanita itu mengasingkan diri di dalam hutan ini? Apa alasan wanita itu mengenakan cadar? Padahal dia bukan wanita yang buruk rupa. Padahal kecantikan wanita itu begitu sempurna. Tanpa polesan kosmetik dia tetap cantik bersahaja. 


Rasa ingin tau yang begitu besar membuat sang pangeran ingin mendekati wanita itu. Dan pesona wanita itulah yang telah melulukan hati sang pangeran. Dia enggan kembali ke dunia maya. Dia berniat tinggal di sini agar dia selalu dekat dengan pujaan hatinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog List