Sabtu, 02 November 2013

MANCING DI MUARA BADAK

Sebelum adikku menikah, dia sempat tinggal bersama kami. Dia hobbi banget mancing. Setiap hari minggu dia selalu pergi memancing bersama teman-temannya. Yang aku ketahui dia tu sering banget mancing ke Muara Badak. Setiap pulang dari mancing dia selalu membawa hasil pancingannya berupa ikan kakap ataupun udang. Itulah sebabnya kami sekeluarga tertarik untuk ikut mancing ke Muara Badak bersama dia.

Pas hari libur kami sekeluarga berencana ikut mancing ke Muara Badak bersama adikku dan teman-temannya. Untuk itu kami mempersiapkan bekal untuk keperluan kami. Selain peralatan mancing, kami juga membawa bekal makanan berupa nasi dan sambal.

Kami sengaja tidak membawa lauk-pauk, karena kami berencana membakar hasil pancingan kami untuk makan siang kami sekeluarga di tempat pemancingan. Kami juga membawa tempat pembakaran ikan dan arang, agar kami tidak repot-repot jika mau bakar ikan hasil pancingan kami. Kami sudah membayangkan betapa nikmatnya makan ikan bakar yang masih segar di alam terbuka dengan pemandangan yang indah.

Sehabis sholat Shubuh kami berlima; aku, suamiku, anakku, adikku dan teman adikku berangkat bermotor ke Muara Badak. Kami menggunakan 3 motor. Aku bonceng suamiku, adikku sama anakku, sedangkan teman adikku naik motor sendirian.

Jarak Samarinda dan Muara Badak lumayan jauh kurang lebih 70 km. Kalau dari Samarinda lewat jalur ke kota Bontang, tapi di pesimpangan sebelum Bontang kita belok ke kanan. Perjalan yang ditempuh membutuhkan waktu kira-kira 1 jam. Sekitar jam 6.00 pagi kami sudah sampai di tempat pemancingan.

Ternyata bukan kelompok kami saja yang sengaja melungkankan waktu untuk memancing di sana. Ada beberapa kelompok yang sudah sampai di tempat itu, bahkan ada juga yang sudah mendapatkan ikan hasil pancingan. Alam yang bersahaja dengan pemandangan yang elok menambah semangat kami di tempat pemancingan. Di sana telah di sediakan tempat khusus bagi para pemancing. Ada dibangun jembatan khusus yang terbuat dari kayu yang diberi atap untuk tempat berlindung bagi para pemancing.

Dengan semangat 45 kami mulai turunkan kail kami masing-masing. Kami tidak mau kalah bersaing dengan kelompok yang lain untuk mendapatkan ikan hasil pancingan. Matahari mulai tinggi, badan kami pun mulai bermandikan peluh. Tapi dengan sabar kami tetap menjaga stick pancing kami masing-masing sampai umpan kami disambar oleh ikan.

Detik demi detik kami lewati. Waktupun terus berjalan, hingga tengah hari, perut kami sudah mulai keroncongan, tapi dari lima orang yang memegang stick, tak satupun ikan yang mau menyambar umpan kami, padahal dari kelompok yang lain sudah berulang kali mengangkat ikan dari sticknya. Mungkin ikan-ikan di dalam sana sudah mencium aroma sambal yang ku bawa, sehingga dia menjauhi kail kami, mereka ketakutan karena kami akan membakar mereka dan menjadi santapan makan siang kami, jika masuk ke dalam perangkap kami.

Sungguh tragis sekali. Rupanya hari itu bukan hari keberuntungan kami, tak satupun ikan yang kami dapatkan hingga hari lewat tengah hari. Padahal kami sudah pindah tempat pemancingan sampai tiga kali. Terpaksa kami menyantap nasi kami hanya dengan sambal saja, karena sudah tak tahan lagi perut kami menunggu asupan makanan. Bekal yang lain seperti biskuit dan camilan yang lain tak luput jadi santapan kami berlima yang kelaparan di tempat pemancingan. Jauhnya tempat pemancingan dengan keramaian membuat kami kesulitan mencari warung. Itulah sebabnya bekal makanan yang kami bawa dari rumah habis tak tersisa. Biarpun cuma nasi dan sambal rasanya terasa nikmat, karena rasa lapar yang mendera perut kami berlima.

Hingga senja tiba tak satu ekor pun ikan yang kami dapatkan. Kami pun pulang dengan tangan hampa, meskipun kami masih dibebani rasa penasaran karena tak satupun ikan yang nyangkut di kail kami. Sepertinya ikan-ikan di dalam sana sudah saling berbisik, agar menjauhi umpan yang kita pasang.

Dengan hati yang sangat kecewa kami berlima meninggalkan tempat pemancingan. Di tengah perjalanan ternyata kesialan kami belum habis. Motor adikku bertabrakan dengan motor yang hendak menyebang jalan. Adikku tidak melihat kalau ada motor menyebrang, karena di depannya ada truk dan adikku hendak menyalip truk tersebut. Tabrakan pun tak bisa dihindari. Motor adikku rusak parah, begitu juga motor orang yang ditabrak. 

Untung saja kami menempuh jalan damai, dalam kecelakan tersebut, karena kami sama-sama di pihak yang dirugikan. Adikku langsung dilarikan ke puskesmas terdekat, karena ada luka yang cukup serius di kepalanya. Setelah mendapatkan pertolongan dari mantri Puskesmas, sore itu juga adikku bisa kami bawa pulang. Untuk sementara motor adikku ditinggal di bengkel terdekat untuk diperbaiki.

Masih ada lagi satu rasa syukur yang kami panjatkan kepada Allah, meskipun kami tak dapat ikan di acara mancing bersama hari itu. Dalam kecelakaan itu anakku tak mengalami luka yang serius, walaupun dia jatuh terpelanting dari motor adikku pada saat terjadi kecelakaan tersebut. Begitu juga dengan aku dan suamiku yang berada di belakang motor adiku, secara otomotis motor suamiku pun tak dapat terkendali dan menabrak motor adikku yang terjatuh di tengah jalan. Bilang orang Jawa: "masih untung" dan kata masih untung itulah sebagai rasa syukur kami kepada Sang Pencipta Alam Semesta.

Semoga cerita ini dapat memberi inspirasi kepada para pembaca Ladymate. Pengalaman ini tak akan kami lupakan, terus terkenang sepanjang masa. Pengalaman yang sering kali kami jadikan cerita kepada teman-teman kami dan kini kami bagikan kepada pembaca Ladymate tercinta.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog List