Sampai sekarang
masih ku pakai kado pernikahan yang engkau berikan kepadaku. Walupun sangat
sederhana, tapi kado pernikahan itu masih berwarna putih. Seperti putihnya cintamu kepadaku.
Cinta putih yang tak berujung dengan pernikahan. Karena cinta yang kau
sampaikan datang di saat aku sudah mengenakan cicin pertunangan. Kado
pernikahan yang kau berikan selalu menemaniku dalam sujud dan do’aku.
Indahnya pantai
Popoh menjadi saksi bisu. Dasyatnya deburan
ombak menghantam karang yang terjal seolah tahu isi hatimu. Di sanalah kau
ungkap kata cintamu kepadaku, meskipun kau tahu, bahwa aku sudah mengenakan
cincin pertunangan.
Hancurnya batu karang yang diterjang ombak lautan, seperti hancurnya hatiku, ketika ku tahu bahwa kau punya perasaan yang sama denganku. Tapi semua sudah terlambat. Aku tak ingin membuat ke dua orang tuaku kecewa. Aku tak ingin keluargaku marah, bila aku membatalkan pernikahan yang sudah direncenakan oleh keluargaku dan keluarga calon suamiku. Semua itu ku lakukan demi kebaikan kita bersama, mungkin jodoh tak bisa mempersatukan cinta kita.
Tapi kenangan di
pantai Popoh waktu itu benar-benar menjadi memori yang terindah bagiku. Biar
pun hanya sehari, aku tak akan melewatkan waktu sedetikpun untuk tidak
bersamamu.
“Biarlah hari
ini, aku menjadi milikmu Ton... karena hari esok kita tak akan bersama lagi.”
Itulah kata-kata yang ku ucap saat itu.
Tiada sepatah
kata pun yang kau ucap, tapi
pandangan matamu begitu penuh arti. Lalu kau peluk erat tubuhku. Pelukan itu
seolah meremukan tulang-tulangku. Ku biarkan tubuhku menyatu dalam pelukanmu,
karena waktu tak akan berulang lagi seperti hari itu. Ombak yang bergulung
saling berkejaran, menyaksikan dua insan yang memadu kasih.
Tak terasa hari
mulai senja. Sang mentari seolah mengingatkan kita, bahwa waktu untuk kita
berdua telah usai. Gelap mulai menggelayut di langit yang biru.
“Ayo... kita
pulang sayang! Waktu berpisah telah tiba.” Itulah kalimat yang mengakiri pelukan
kita.
Kami berjalan
menyusuri sepanjang tepian pantai popoh. Genggaman tanganmu masih terasa di
jariku. Biar pun masa sudah lewat beberapa tahun tapi kenangan itu masih sering
melintas di benakku.
Malam
itu tak kau biarkan
aku pulang sendirian. Kau antar aku pulang sampai
di depan rumah. Karena tak ada lagi angkutan malam itu, kita berdua mengendarai
becak. Sang rembulan selalu saja mengikuti
laju roda becak yang berputar. Dia mengintip kita di
balik atap becak yang sedikit berlubang. Seolah dia ingin tahu apa yang
dilakukan dua insan yang sedang duduk berhimpitan di jok kendaraan beroda tiga itu.
Kita pun tak
bergeming, hanya genggaman tangan kita yang tak pernah terlepas. seolah
menyatukan hati yang tak akan bersatu lagi di hari esok. Semakin dekat dengan
tempat tujuan, semakin membuat hatiku gelisah. Karena semakin dekat pula
perpisahan kita berdua.
Ketika becak
berhenti, seolah berhenti pula denyut jantungku. Aku harus melepaskan genggaman
tanganmu karena aku harus
turun dari becak dan melangkahkan kakiku
menuju rumah kediamanku. Untuk yang terakhir kalinya, ku lambaikan
tanganku sebagai tanda perpisahan.
0 komentar:
Posting Komentar