Senin, 04 November 2013

Kenangan Cinta Putih

Meskipun telah hadir dua laki-laki yang mengisi hidupku, tapi bayanganmu tak pernah sirna dari ingatanku. Bayanganmu selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Bayanganmu selalu menggodaku, agar aku kembali ke masa laluku. Masa lalu yang kita rajut bersama, hingga aku tenggelam dalam lamunan yang tiada berujung.

Sampai sekarang masih ku pakai kado pernikahan yang engkau berikan kepadaku. Walupun sangat sederhana, tapi kado pernikahan itu masih berwarna putih. Seperti putihnya cintamu kepadaku. Cinta putih yang tak berujung dengan pernikahan. Karena cinta yang kau sampaikan datang di saat aku sudah mengenakan cicin pertunangan. Kado pernikahan yang kau berikan selalu menemaniku dalam sujud dan do’aku.

Indahnya pantai Popoh menjadi saksi bisu. Dasyatnya deburan ombak menghantam karang yang terjal seolah tahu isi hatimu. Di sanalah kau ungkap kata cintamu kepadaku, meskipun kau tahu, bahwa aku sudah mengenakan cincin pertunangan.


Hancurnya batu karang yang diterjang ombak lautan, seperti hancurnya hatiku, ketika ku tahu bahwa kau punya perasaan yang sama denganku. Tapi semua sudah terlambat. Aku tak ingin membuat ke dua orang tuaku kecewa. Aku tak ingin keluargaku marah, bila aku membatalkan pernikahan yang sudah direncenakan oleh keluargaku dan keluarga calon suamiku. Semua itu ku lakukan demi kebaikan kita bersama, mungkin jodoh tak bisa mempersatukan cinta kita.

Tapi kenangan di pantai Popoh waktu itu benar-benar menjadi memori yang terindah bagiku. Biar pun hanya sehari, aku tak akan melewatkan waktu sedetikpun untuk tidak bersamamu.

“Biarlah hari ini, aku menjadi milikmu Ton... karena hari esok kita tak akan bersama lagi.” Itulah kata-kata yang ku ucap saat itu.

Tiada sepatah kata pun yang kau ucap, tapi pandangan matamu begitu penuh arti. Lalu kau peluk erat tubuhku. Pelukan itu seolah meremukan tulang-tulangku. Ku biarkan tubuhku menyatu dalam pelukanmu, karena waktu tak akan berulang lagi seperti hari itu. Ombak yang bergulung saling berkejaran, menyaksikan dua insan yang memadu kasih.

Tak terasa hari mulai senja. Sang mentari seolah mengingatkan kita, bahwa waktu untuk kita berdua telah usai. Gelap mulai menggelayut di langit yang biru.

“Ayo... kita pulang sayang! Waktu berpisah telah tiba.” Itulah kalimat yang mengakiri pelukan kita.

Kami berjalan menyusuri sepanjang tepian pantai popoh. Genggaman tanganmu masih terasa di jariku. Biar pun masa sudah lewat beberapa tahun tapi kenangan itu masih sering melintas di benakku.

Malam itu tak kau biarkan aku pulang sendirian. Kau antar aku pulang sampai di depan rumah. Karena tak ada lagi angkutan malam itu, kita berdua mengendarai becak. Sang rembulan selalu saja mengikuti laju roda becak yang berputar. Dia mengintip kita di balik atap becak yang sedikit berlubang. Seolah dia ingin tahu apa yang dilakukan dua insan yang sedang duduk berhimpitan di jok kendaraan beroda tiga itu.

Kita pun tak bergeming, hanya genggaman tangan kita yang tak pernah terlepas. seolah menyatukan hati yang tak akan bersatu lagi di hari esok. Semakin dekat dengan tempat tujuan, semakin membuat hatiku gelisah. Karena semakin dekat pula perpisahan kita berdua.

Ketika becak berhenti, seolah berhenti pula denyut jantungku. Aku harus melepaskan genggaman tanganmu karena aku harus turun dari becak dan melangkahkan kakiku menuju rumah kediamanku. Untuk yang terakhir kalinya, ku lambaikan tanganku sebagai tanda perpisahan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog List