Jumat, 07 Oktober 2016

Hujan Di Ujung Senja

0
Hasil gambar untuk pelangi ketika turun hujan

Wajah langit nan elok berhiaskan pelangi
Butiran air hujan bak taburan permata, indah menghiasi
Hembusan sang bayu bersenandung, syadu mengiringi
Dedaunan menari-nari tiada henti

Aku si sini sendiri di bawah derainya hujan
Berteduh di bawah sebatang pohon yang rindang
Suara angin yang berdesir seolah menyapaku dalam keheningan
Dan ku biarkan membelai jurai-jurai rambutku yang bergelombang

Aku teringat pada suatu masa
Di saat hujan turun kita bermain bersama
Tak peduli hujan deras mengguyur tubuh kita
Di bawah derai hujan, kita berlari riang gembira

Sahabat masa kecilku….
Aku rindukan kehadiranmu, aku mendambakan candamu
Hingga tak ku sadari senja pun berlalu
Malam pun menjelang seiring bergantinya waktu

                                                Samarinda, 07 Oktober 2016

Sabtu, 28 Mei 2016

0
Anda akan merasakan sensasi bernostalgia bersama sahabat anda, jika anda membaca kisah dalam buku ini.

<script>var nulisbukwidgetid="mrs-gaptek-sedang-jatuh-cinta";</script><script type="text/javascript" src="http://nulisbuku.com/application/assets/js/widget/mainwidget.js"></script><div id="nulisbuku-widget"> </div>



Mrs. GapTek Sedang Jatuh Cinta
By Ainun Sugianto

Selasa, 22 Desember 2015

DOA UNTUK IBU

0

Ibu....
Kau tak pernah merasa lelah
Kau tak mengenal kata menyerah
Kau berjuang demi ananda
Kau korbankan jiwa dan raga

Ibu....
Kau tak mengenal kata mengeluh
Walau ragamu bersimbah peluh
Kadang berlinang air matamu
Semua demi masa depan putra putrimu


Ibu....
Kau tak pernah mengenal kata letih
Walau jalanmu tertatih-tertatih
Kau torehkan sejarah panjang
Sepanjang usiamu kau tetap berjuang

Ibu....
Ketegaran hatimu berbalut kelembutan
Keteguhan jiwamu berselimut ketulusan
Keriput di keningmu adalah lukisan perjuanganmu
Tetes air matamu adalah gambaran keteduhanmu

Ibu...
Ketika ananda belum sempat berbakti
Kau telah berpamit pergi ke pangkuhan Illahi
Tak ada yang dapat kupersembahkan kepadamu, oh... ibu
Hanyalah do'a setulus hatiku
Semoga Surga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagimu
Aamiin ya Robbal Alamin



                                            Samarinda, 22 - Desember - 2015















Kamis, 10 Desember 2015

RINDU YANG TERLARANG

0
Tlah ku tutup pintu dan jendela hatiku
Karna ku tak berharap... cinta datang untukku
Aku juga tak pernah meminta... kasih sayangnya mengisi ruang hatiku
Tapi... cinta ibarat angin semilir yang berdesir, membelai lembut dinding hatiku

Untaian aksara tak sanggup menterjemakan sejuta rasa
Rangkaian kata tak mampu mengartikan sejuata makna
Aku tak tahu apakah aku sedang jatuh cinta
Yang ku tahu aku selalu ingin dekat dengannya


Hanya kepada sang bayu
Ku titipkan gemuruh rinduku
Berdesir mesra di liang telingaku
Membelai lembut jurai-jurai rambutku 
 
Ada deraian air mata
Di setiap kali dia panggil namaku 
Ada sesak di dalam dada
Ketika rindu yang terlarang merajang kalbu

                                   Samarinda, Desember 2015
  

Jumat, 16 Oktober 2015

Mawar layu di ujung kemarau

0
***
Malam ini begitu kelam. Rembulan sembunyi di balik awan. Bintang-bintang tiada tampak berkedip. Hanya angin malam yang berbisik. Seolah mengajakku melintasi awan yang berarak. Aku ingin terbang. Terbang ke ujung langit yang paling tinggi. Agar aku dapat melupakan masa laluku. Masa lalu yang penuh prahara dan meninggalkan kepedihan di hatiku.

Harumnya mawar di halaman rumahku tiada lagi tercium aromanya. Apakah ini suatu pertanda, bahwa tiada lagi cinta di hatiku. Hati yang telah lama membeku. Bagai gunung es di tengah padang salju. Entah kapan gunung es ini akan mencair, karena tak ada seberkas sinar yang mampu melelehkan bongkahan es di hatiku ini.

Malam semakin larut, gerimis mulai menyapu debu-debu di atas dedaunan. Dinginnya angin malam semakin membuat hatiku gelisah. Aku teringat kembali akan prahara rumah tanggaku. Rumah tangga yang semula bahagia dan penuh kehangatan, berubah menjadi suatu kepedihan yang begitu membekas di hati.

Kegelisahan hatiku, membuatku tak dapat memejamkan mata. Ku beranjak dari pembaringan dan ku ambil diaryku. Di sinilah ku tuangkan seluruh isi hatiku. Diary yang menyimpan sejuta cerita kehidupanku. Suka duka dan pahit getirnya kehidupanku dari aku masih remaja hingga saat ini. Ku goreskan penaku di atas kertas berwarna biru. Kutulis puisi rindu buat kekasih hati yang tak kunjung kembali.

Malam…
Bak rembulan ditelan awan hitam
Nyanyian burung malam seolah mengiris hatiku
Mencabik jiwa yang didera rindu

            Hembusan angin malam mendayu-dayu
            Seperti rintihan di dalam hatiku
            Sekian lama sendiri di dalam sepi
            Belahan jiwa tak kunjung kembali

Malam semakin larut
Ku tenggelamkan tubuhku dalam selimut
Tuk membuang rindu
Yang kian menghimpit jiwaku

Jauhnya kau di sana, di seberang lautan
Ingin ku gapai tanganmu, ku rangkul dalam pelukan
Walau sekejab hanya di dalam mimpiku
Tuk obati rindu yang kian menusuk kalbu

Enam tahun aku menunggu. Menunggu Sam kembali. Kembali di tengah-tengah kami. Aku dan buah hati kami berdua. Buah hati hasil perwujudan dari cinta kasih kami berdua. “Sam... tidak ingin tahukah kamu, buah hati kita sudah semakin besar, sewaktu masih bayi kamu sangat menyayangi dia, aku selalu menunggumu Sam!” Aku menghelah napas panjang. Orang-orang di sekelilingku sering kali membujukku, agar aku menikah lagi, terutama ibu, orang yang paling dekat denganku. Tapi kenapa hatiku tidak tergerak sedikit pun untuk menikah lagi.

***
Ketika aku menikah usiaku masih dua puluh tahun. Sedangkan Sam dua tahun lebih tua dariku. Sebelum kami menikah kami sempat berpacaran selama dua tahun. Waktu bertemu Sam, aku masih kelas III SMA. Dan Sam mulai bekerja di sebuah perusahan kontraktor. Kami sepakat menikah, karena kami saling menyintai dan kedua orang tua kami terus mendesak, agar kami segera menikah. “Jangan terlalu lama berpacaran, tidak baik dipandang oleh tetangga!” Ibu selalu mengatakan itu setiap kali Sam datang ke rumah.

Acara pernikahan kami digelar secara sederhana. Belum genap setahun usia pernikahan kami, aku sudah mulai berbadan dua. Dengan kehamilanku Sam semakin sayang kepadaku. Setiap berangkat dan pulang kerja, Sam selalu mengecup perutku yang semakin membesar. Kami sangat bahagia menantikan sang buah hati yang akan hadir di tengah kehidupan kami. Setiap bangun tidur Sam bertanya kepadaku: “Sayang, kamu pingin apa? Entar aku belikan sepulang kerja, aku nggak mau anakku ngiler, karena kamu ngidam nggak keturutan.” Itulah kalimat yang selalu ku dengar dari bibir Sam waktu itu.

Sembilan bulan kami menunggu kehadiran sang buah hati. Kadang terbersit rasa was-was di hatiku. Tapi Sam selalu menguatkan hatiku, agar aku selalu optimis. Sam juga tidak pernah lupa mengajakku berdo’a setiap selesai melaksanakan sholat. Memohon kepada Allah, agar sang jabang bayi lahir dengan sehat dan selamat.

Sam selalu mendampingiku. Dia menjagaku siang dan malam. Dia tidak tega membiarkan aku merasakan rasa sakit sendirian, ketika aku melahirkan. Dia seorang calon ayah yang sangat setia pada waktu itu.

Tepat tanggal 18 February jam 10.10 WIB, sembilan tahun silam, tangis bayi laki-laki terdengar nyaring di ruang bersalin “Kasih Ibu” dimana aku dirawat. Dan sang buah hati, kami beri nama “Rizky Febrian Pratama.“ Puji syukur kepada Allah tak lupa kami panjatkan atas kelahiran sang buah hati kami.

Tidak hanya sampai di situ, Sam juga selalu membantuku merawat sang buah hati. Dia tidak merasa keberatan bangun malam, untuk menyeduhkan susu, ketika Febie kecil lapar di malam, atau mengganti popok Febie, ketika Febie pipis. Setiap pulang kerja Sam tidak pernah lupa membawa makanan kesukaanku. Atau membelikan mainan untuk Febie, padahal waktu itu Febie belum mengerti mainan, karena usianya masih belum genap satu tahun. Dengan kehadiran sang buah hati semakin lengkaplah kebahagiaan kami.

Ketika Febie menginjak usia dua tahun, Sam dipercaya bosnya untuk menangani sebuah proyek di luar Jawa. Sebenarnya aku merasa keberatan melepas keberangkatan Sam. Aku punya firasat yang kurang baik. Wajar saja selama ini kami selalu bersama. Terlalu dini jika Sam pergi meninggalkan kami. Tapi Sam punya ambisi besar dalam karirnya. Dia ingin menunjukan kepada bos dan teman-temannya, bahwa dia mampu mengerjakan proyek tersebut. Sam tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh bosnya.

“Ini adalah kesempatan bagiku demi karirku di masa yang akan datang sayang, semua ini demi keluarga, demi kamu dan Febie juga, aku pergi demi masa depan keluarga kita, sayang!” Itulah kata-kata yang berhasil meyakinkanku, sehingga aku rela melepas kepergian Sam. Sebagai seorang istri seharusnya aku mendukung Sam. Karena semua itu demi masa depan keluarga.

Walau terasa berat, aku harus rela melepaskan kepergian Sam. Sam berjanji akan pulang setiap bulan. Bulan-bulan pertama Sam selalu menepati janjinya. Setiap bulan dia pulang untuk melepas rindu. Rindu kepadaku, juga kepada Febie sang buah hati. Tapi itu berlangsung selama beberapa bulan saja. Bulan-bulan berikutnya, Sam semakin jarang pulang. Kadang dia pulang tiga bulan sekali, kadang malah lebih dengan alasan sibuk.

Dan pada puncaknya ketika Febie merayakan hari ulang tahunnya yang ke tiga. Sam tidak hadir di tengah-tengah kami. Setiap kali aku menelepon dia selalu bilang: “Aku sibuk mengurus proyek ma.” Kiriman uang belanja pun sering terlambat. Aku semakin gelisah, aku merasa bahwa ada wanita lain di hati Sam. Sam sudah lupa dengan janji-janjinya. Bahkan Sam tega menelantarkan keluarganya. Kabar terakhir yang ku dengar bahwa Sam telah terjerat oleh cinta gadis Kalimantan.

Betapa hancur hatiku saat itu. Aku sempat down untuk beberapa bulan. Sam merupakan tulang punggung keluarga sudah tidak peduli lagi dengan kami. Sedangkan Febie yang masih balita harus kehilangan kasih sayang seorang ayah. Untunglah masih ada ibu dan bapak yang selalu menguatkan hatiku.

Sebenarnya aku masih berharap, bahwa suatu saat nanti Sam akan kembali. Tiap malam aku berdo’a kepada yang Maha Kuasa, agar Sam dikembalikan kepada kami. Tapi penantian dan kesetianku ini sepertinya sia-sia belaka. Karena sampai detik ini, Sam tidak kunjung kembali.

Aku tidak boleh meratapi nasibku terus-menerus. Aku harus bertahan demi masa depan Febie putraku. Aku berjuang membesarkan Febie sendirian. Walaupun aku seorang wanita, aku tidak boleh menyerah dan putus asa.
Sejak saat itu, hatiku terasa beku. Aku tak percaya lagi yang namanya laki-laki. Semua laki-laki ku anggap sama, pendusta dan pembohong, seperti Sam yang begitu tega meninggalkanku dan putranya demi wanita lain.

***
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, aku harus bekerja. Untuk itu dengan modal jiwa yang penuh kasih sayang kepada anak-anak, aku mengajukan permohonan, agar aku bisa mengajar play grup yang baru didirikan di desa kami. Untunglah dengan senang hati pak Lurah berkenan mengijinkan aku menjadi tenaga pengajar di play grup yang memang sedang membutuhkan tenaga pengajar ini.

Aku sangat menyukai anak-anak. Tingkah anak-anak yang lucu dan polos berhasil menghibur duka laraku. Mereka adalah teman yang sangat menyenangkan. Jiwa anak-anak adalah jiwa yang polos dan bersih. Mereka tidak sepintar orang-orang dewasa, yang kadang kepintarannya menjurus menjadi kelicikan.

Fitri adalah seorang gadis cilik yang lucu dan manis. Tingkahnya yang menggemaskan membuatku jatuh cinta kepada gadis cilik ini. Dialah murid yang paling istimewa di hatiku dari ke dua puluh delapan muridku yang lain. Rasa sayangku kepadanya sepertinya berlebihan. Aku juga tidak tahu, kenapa dia begitu dekat denganku. Aku menyayangi dia seperti aku menyayangi Febie putraku. Dia juga begitu manja dan sayang kepadaku, seperti ada hubungan batin yang sangat kuat di antara kami berdua.

Rambutnya yang panjang selalu dikepang dua. Kulitnya putih dan bersih. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi dia punya pesona di matanya. Rambut poninya selalu tersusun rapi menghiasi keningnya. Ibunya pasti seorang ibu yang telaten dan penuh perhatian.

Tingkahnya yang lucu membuatku selalu terhibur. Di play grup ini aku merasa tidak sendirian. Fitri dan anak-anak yang lain membuatku sangat terhibur. Kepedihan dan kesedihan yang ku rasakan terasa sirna di saat aku bersama mereka. Mereka adalah teman pelipur laraku. Selain menimbah ilmu di play grup ini adalah arena permaianan yang menyenangkan. Kaki-kaki mungil berlari ke sana ke mari, riang gembira, dan gelak tawa anak-anak adalah obat yang ampuh untuk menyembuhkan luka dalam hatiku.

Biarpun sudah enam tahun, luka dalam hatiku terkadang masih membekas. “Akankah Sam kembali suatu saat nanti? Mungkinkah aku masih mau menerimanya? Ah... kenapa aku sebodoh ini ya! Lebih baik aku berkemas pulang dan menjemput Febie.” Aku menghela napas panjang.

“Sayang... kok belum ada yang menjemput?” Tanyaku kepada Fitri yang pada saat itu masih duduk sendiri di depan sekolah, padahal sudah setengah jam yang lalu, jam sekolah play grup Melati Putih berakhir. Anak-anak yang lain dan para guru sudah pulang semua. Akulah orang yang terakhir meninggalkan play grup ini, karena aku masih harus memberesi alat-alat peragaan yang dipergunakan oleh anak-anak tadi pagi.

“Ayah belum datang bu!” Jawab gadis mungil itu, seraya mengusap peluh di keningnya.
“Rumah Fitri dimana? Ayo... ibu antar pulang!” Ajakku seraya menggandeng tangan gadis mungil itu.

“Tapi bu, tu… ayahku udah datang!” Seru Fitri kegirangan seraya menunjuk seorang pria yang berpenampilan rapi. Dia mengenakan stelan kemeja berwarna coklat muda, dia sedang memarkir motornya di halaman sekolah. Dia berjalan mendekati kami dengan senyum menghiasi bibirnya. Aku mencoba membalas senyumnya, walaupun aku tidak tahu, apakah senyum manisnya itu ditujukan kepadaku atau untuk putri kesayangannya. Dilihat dari stelan kemeja yang dia kenakan sepertinya dia seorang pegawai negeri. Aku sempat berpikir: “Dimana ya dia bekerja? Ah… mau tahu aja aku ini.” Ku singkirkan rasa ingin tahuku jauh-jauh.

“Ayah… kok lama sih?” Bibir mungil Fitri mulai berucap. Ayahnya belum sempat menjawab, tapi...
“Ayah... ni ibu Alin yang sering Fitri ceritakan sama ayah!”  Ujar Fitri lagi seraya menunjukan ibu jarinya ke arahku.

“Ha… apa yang Fitri ceritakan tentang diriku kepada ayahnya?” Gumamku kaget.
Ayah Fitri mendekat dan mengulurkan tangannya. “Oh… tatapan matanya seolah menembus ke dalam jantungku. Matanya sendu, tapi sorot matanya begitu tajam, setajam mata burung elang. Tatapan mata yang sudah lamaku kenal, ya… tatapan mata Richard Gere, mirip banget!” Gumamku dalam hati.

Hati wanita mana yang tidak luluh bila berpandangan mata dengan sang bintang pujaan ini. Richard Gere adalah bintang pujaanku sejak aku masih SMA. Aku tidak pernah melewatkan nonton film-film romantis bintang ganteng ini. Aku kenal Richard Gere melalui filmnya yang berjudul: “Pretty Woman.” Kini Richard Gere Indonesia telah berdiri di depanku. Hidungnya juga mancung, walaupun kulitnya tidak seputih orang bule, tapi pesonanya ada pada mata dan senyumnya. “Dia memang Richard Gere banget.” Gumamku lagi.

“Angga.” Dia menyebutkan namanya seraya menjabat tanganku.
“Alina.” Jawabku. Tanganku menjadi gemetaran, ketika tangan kami bersentuhan. Jantungku berdetak tak karuan. Ku tahan nafas dalam-dalam untuk menutupi perasaan aneh ini.

Sejak perkenalan itu secara diam-diam aku selalu menunggu. Menunggu ayah Fitri datang menjemput Fitri, bahkan aku rela datang lebih pagi, agar aku bisa melihat ayah Fitri, ketika dia mengantar Fitri ke sekolah. Apa yang ku lakukan ini sungguh gila. Aku benar-benar sedang jatuh cinta. Jatuh cinta dengan seorang pria yang jelas-jelas statusnya sudah beristri. Bahkan aku diam-diam mencari tahu tentang dia. Tentu saja hal itu kulakukan melalui gadis mungil itu. Kini aku bukan jatuh cinta dengan gadis mungil itu, tapi aku jatuh cinta dengan ayahnya. “Bodohnya aku ini!” Aku mengolok diriku sendiri.


Cinta memang bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Sudah lama aku tidak merasakan rasa ini. Kenapa rasa ini datang di kala usiaku sudah menginjak kepala tiga. Dan lebih celakanya pria yang ku cintai adalah pria yang statusnya sudah beristri. Rasanya ini tidak adil. Aku yang sudah menderita karena ditinggalkan Sam, kini aku malahan menyintai pria yang sudah menjadi milik wanita lain. Apa yang ku rasakan ini menimbulkan pro dan kontra di hatiku.

TO BE CONTINIUES

Sabtu, 30 Mei 2015

Sejuta Kerinduan

0
Ada dua hati yang saling merindu
Melewati malam yang membisu
Kelam dalam khayalan
Sunyi dalam impian

Hanya suara yang saling menyapa
Terdengar begitu syadu di telinga
Melantunkan lagu kerinduan
Membisikan syair penuh kehangatan



Sejuta kerinduan melebur dalam jiwa
Menantikan kekasih tercinta
Hanya titik-titik air mata 
Sebagai saksi ketulusan cinta

Meskipun jauh di seberang lautan
Pautan hati takkan terpisahkan
Menyatu dalam setiap denyutan di dalam dada
Mengalir dalam setiap napas yang mendesah







Selasa, 30 September 2014

KISAH PANGERAN DUMAY DAN PUTRI BERCADAR

0
Ada seorang pangeran tampan. Dia merasa bosan dengan hingar bingar dunia maya. Dia merasa jenuh melihat ulah gadis-gadis yang begitu glamor. Dia merasa tak nyaman lagi dipameri paha dan dada yang selalu membuai halusinasinya. Dia ingin mencari ketenangan jiwa. Dia ingin meninggalkan dunia glamor yang hanyalah suatu kenikmatan dunia semata. Kenikmatan yang bersifat sementara.

Dia ingin melakukan perjalanan. Menikmati indahnya alam yang asri dengan rimbunnya pepohonan. Menikmati segarnya udara pagi yang nyaman tanpa polusi. Dengan bekal seadanya dia berjalan memasuki sebuah hutan.

Dengan tas ransel di punggungnya dia terus berjalan tanpa mengenal lelah. Dan sesekali dia memetik sebatang ranting kering. Sambil berjalan dipatah-patahkannya ranting itu hingga tak tersisa lagi di tangannya. Lalu dia memetik ranting kering lagi dan dia patah-patahkan lagi hingga habis.

Setelah kakinya mulai merasa lelah, dia berhenti dan mencari tempat untuk beristirahat. Di bawah sebatang pohon yang rindang, dia berhenti dan meletakan tas ransel yang ada punggungnya. Lalu dia duduk seraya menyandarkan punggungnya di pohon itu. Dia mengambil bekal air minum di dalam tas yang ada di sampingnya. Dia ingin membasahi tenggorokannya yang mulai mengering.

Sambil menikmati pemandangan alam yang elok bersahaja, dia ingin menghirup udara segar alami yang bebas dari polusi. Dia melihat-lihat alam di sekelilingnya. Bebatuan, pepohonan dan rumput ilalang. Suara suitan burung-burung liar bersaut-sautan adalah harmoni alam yang menentramkan jiwanya.

Ketika mata sang pangeran menatap jauh ke depan. Dia tersentak, sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Nan jauh di sana, dia melihat sekelebat bayangan manusia. Terlihat samar-samar, bayangan itu membuat sang pangeran semakin penasaran. “Mungkinkah ada manusia lain, selain diriku di dalam hutan ini?” itulah yang berkecamuk di dalam benak sang pangeran saat itu.

Sang pangeran beranjak dari tempat duduknya. Seraya meletakan kembali tas ransel di atas punggungnya, dia berjalan pelan-pelan. Dengan berhati-hati dia mulai mendekati bayangan itu. Seperti sang pemburu yang sedang mengintai buruannya. Semakin dekat sang pangeran semakin berhati-hati karena bayangan itu semakin terlihat sempurna. Dia bersembunyi di balik pohon dan semak belukar, agar intaiannya tidak melihat dirinya.

Ketika bayangan itu terlihat semakin jelas, sang pangeran tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Ternyata bayangan itu adalah sosok seorang wanita. Dia terus mengusap-usap matanya dan membelalakan matanya di balik rimbunnya pepohonan. Karena dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. “Mungkinkah ada seorang wanita yang tinggal di hutan ini... atau dia seorang peri...” Pertanyaan itu terus terbersit di dalam benaknya.

Dia terus memperhatikan wanita itu. Sepertinya dia sedang memetik sayuran dan buah. Sang pangeran semakin dibuat penasaran, karena dia tidak bisa melihat raut wajah wanita itu. wanita itu terus membelakangi sang pangeran, sehingga dia terus berusaha mencari posisi yang tepat, agar bisa melihat raut wajah wanita itu. “Meskipun pakaian yang dikenakan oleh wanita itu begitu sederhana tapi wanita itu terlihat anggun, tentunya dia seorang wanita yang berparas cantik jelita.Bisik dalam hati sang pangeran.

Rupanya wanita itu sudah selesai memetik sayuran dan buah. Dia mengangkat keranjang dan menjijing keranjang yang sudah penuh dengan sayuran dan buah. Sang pangeran terus memperhatikan gerak gerik wanita itu. Sang pangeran terlihat sedikit lega karena wanita itu membalikan badan, dengan begitu sang pangeran bisa melihat raut wajah wanita itu.

Hah... oh oh” sang pangeran kembali dibuat terkejut, setelah wanita itu membalikan badannya, karena sang pangeran tetap saja tidak bisa melihat raut wajah wanita itu. Ternyata wanita itu menutupi wajahnya dengan cadar. Cadar yang dipasang wanita itu terlihat lucu. Cadar yang bergambar wajah gadis kecil yang manis dan imut. Sang pangeran terlihat sangat kecewa dan terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri “Apakah dia seorang wanita yang buruk rupa, atau wajahnya cacat sehingga dia menutupi wajahnya dengan cadar dan dia malu dengan orang-orang di sekelilingnya, sehingga dia mengasingkan diri di hutan ini.

Wanita bercadar itu berjalan ke arah sang pangeran sambil menjijing keranjang sayurnya. Sang pangeran berusaha menyembunyikan dirinya di balik rimbunnya pepohonan agar kehadirannya tidak diketahui oleh wanita itu. Sambil mengendap-endap Sang pangeran berusaha mengikuti wanita itu. Sang pangeran semakin penasaran, rasa ingin tahunya semakin besar terhadap wanita itu.

Oh… ternyata di dalam hutan ini ada sebuah pondok. Podok sederhana yang terbuat dari kayu. Rupanya di pondok itulah wanita bercadar itu tinggal. Wanita bercadar itu buru-buru masuk ke dalam pondok dan menutup kembali pintu pondok dengan rapat.

Di pondok sederhana inilah putri bercadar melakukan kegiatan sehari-hari. Memasak, mencuci dan kegiatan yang lainnya. Dia selalu mengenakan cadar bila keluar dari pondok, tapi jika di dalam pondok dia membuka cadarnya. Walaupun sendiri dan jauh dari hingar-binger kehidupan dunia, dia merasa injoy berada di tempat ini.

Sementara itu di luar sana, Sang Pangeran semakin merasa penasaran. Apa yang terjadi dengan wanita itu sehingga dia mengasingkan diri di dalam hutan ini. Maka dia segera mendirikan tenda. Tenda kemping yang berukuran kecil. Dia ingin menginap di hutan ini. Dia sangat penasaran dengan wanita bercadar itu. Dia memasang tendanya di balik semak belukar, agar kehadirannya tidak diketahui oleh wanita bercadar itu.

Malam telah tiba. Sang rembulan tampak begitu sempurna. Raut wajahnya yang cantik selalu tersenyum. Menghiasi langit ditemani sang bintang. Suara burung malam mengalunkan melody kerinduan. Begitu syadu terdengar mendayu-dayu.

Sang pangeran mulai menyalakan lampu emergency sebagai alat penerangan di dalam tendanya. Untung saja dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal, jika sewaktu-waktu dia harus menginap di dalam hutan, termasuk bekal makanan.

Sementara itu di dalam pondok terlihat samar-samar cahaya lentera. Cahaya yang menerangi ruangan di dalam pondok itu. Sang pangeran selalu memperhatikan pondok itu, terutama pintu pondok, karena sang pangeran selalu berharap dia bisa melihat wanita bercadar itu keluar dari dalam pondok. Tapi dari mulai sang pangeran berada di tempat itu, hingga malam tiba wanita bercadar itu tidak pernah keluar lagi dari pondoknya.

Rasa ingin tahu yang begitu besar membuat sang pangeran memberanikan diri untuk mendekati pondok itu. Dia ingin tahu apa saja yang dilakukan wanita bercadar itu di dalam pondok. Di selah-selah lubang dinding kayu, sang pangeran mulai mengintip. Berkali-kali dia mencoba menemukan dimana gerangan wanita bercadar itu berada.

Namun pada akhirnya sang pangeran menemukan wanita itu di dalam kamarnya. Hati sang pangeran pun merasa lega. Rupanya wanita bercadar itu sudah bersiap-siap mendekap malam. Dan mengukir mimpi indahnya. Rambutnya yang panjang hitam legan diurai. Cadar yang menutupi wajahnya pun dilepas. Tapi sayang, sang pangeran belum bisa melihat wajahnya karena posisi wanita bercadar membelakangi sang pangeran.

Walaupun sang pangeran tidak bisa melihat wajahnya tapi sang pangeran tidak mau beranjak dari tempat itu. Dia tetap menunggu sampai wanita bercadar itu terlelap. Sebentar kemudian ruangan menjadi gelap dan sang pangeran tidak melihat apa-apa lagi. Rupanya wanita bercadar itu sengaja mematikan lentera di saat dia bobo.

Sebelum sang pangeran beranjak dari tempat dia berdiri, dia mendengar suara wanita itu. Sang pangeran mendekatkan telinganya di balik dinding pondok agar bisa mendengarkan lebih jelas suara wanita bercadar itu. Rupanya wanita bercadar itu sedang memanjatkan do’a sebelum bobo. Sang pangeran terbuahi dengan suaranya yang  lembut, begitu terdengar begitu merdu di telinganya.

Setelah suara wanita bercadar itu menghilang, sang pangeran beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Rupanya wanita bercadar itu sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Sang pangeran pun kembali ke tendanya. Dia baringkan tubuhnya di atas tikar sebagai alas tidurnya. Tapi matanya tidak juga mau terpejam. Di telinganya masih terngiang suara merdu wanita bercadar itu. Begitu membekas, hingga lafat do’a yang dia panjatkan tersimpan lekat di dalam memori ingatannya.

Malam semakin larut. Kesunyian semakin mendekap. Walau mata sang pangeran terpejam rapat tapi hatinya tetap terjaga. Ada kerinduan yang menggoda hatinya. Kerinduaan untuk melihat wajah asli wanita yang menghuni pondok kayu itu. Dia berharap malam segera berlalu dan dia bisa melihat wanita bercadar itu keluar dari pondoknya esok pagi.

Dinginnya udara pagi menyadarkan sang pangeran, bahwa waktu yang dia tunggu-tunggu telah tiba. Sang pangeran bergegas membuka tendanya. Dia segera mengenakan jaketnya untuk melawan rasa dingin yang menusuk kulitnya. Lalu keluar dari tenda. Pandangan matanya langsung tertuju ke arah pondok, dimana wanita bercadar itu tinggal. Seperti biasa dia selalu mengintai agar kehadirannya tdak diketahui oleh wanita bercadar itu.

Suasana alam begitu harmonis. Nyanyi burung-burung menyapa begitu riang. Mereka terbang dan kemudian bertengger di atas dahan berpsang-pasang. Ayunan daun-daun pinus seolah menari-nari, menghempaskan embun pagi dan jatuh di atas rerumputan. Mentari pagi mulai tersenyum. Sinarnya membias menerobos di selah-selah dedaunan.

Sementara itu, di dalam pondoknya, wanita bercadar telah usai menunaikan sholat shubuh. Dia ingin menikmati indahnya alam dan menyambut senyum sang mentari. Menghirup udara pagi nan segar, memandang indahnya alam nan hijau berseri.

Dia membuka jendela kamarnya. Tanpa mengenakan cadar lagi, dia duduk seraya menempelkan dagunya di atas kusen cendela. Dia tidak sadar, jika ada seseorang yang telah mengintainya. Dia tidak tau, jika ada seseorang yang selalu menantikan momentum ini. Yaitu wanita bercadar memperlihatkan paras cantiknya. Paras cantik yang alami, tanpa polesan bedak. Mata yang berbinar tanpa hiasan eyeshadow. Dan bibir yang indah tanpa goresan lipstik.

Sang pangeran merasa takjub dengan kecantikan wanita itu. Ternyata penatiannya selama semalam tidaklah sia-sia. Apa yang dia harapkan akhirnya datang juga. Yaitu bisa melihat wajah wanita bercadar yang membuat dia penasaran.

Tapi dalam hati sang pangeran masih bertanya-tanya. Mengapa wanita itu menyembunyikan wajah cantik di balik cadarnya? Mengapa wanita itu mengasingkan diri di dalam hutan ini? Apa alasan wanita itu mengenakan cadar? Padahal dia bukan wanita yang buruk rupa. Padahal kecantikan wanita itu begitu sempurna. Tanpa polesan kosmetik dia tetap cantik bersahaja. 


Rasa ingin tau yang begitu besar membuat sang pangeran ingin mendekati wanita itu. Dan pesona wanita itulah yang telah melulukan hati sang pangeran. Dia enggan kembali ke dunia maya. Dia berniat tinggal di sini agar dia selalu dekat dengan pujaan hatinya.
 

Blog List