Jumat, 16 Oktober 2015

Mawar layu di ujung kemarau

***
Malam ini begitu kelam. Rembulan sembunyi di balik awan. Bintang-bintang tiada tampak berkedip. Hanya angin malam yang berbisik. Seolah mengajakku melintasi awan yang berarak. Aku ingin terbang. Terbang ke ujung langit yang paling tinggi. Agar aku dapat melupakan masa laluku. Masa lalu yang penuh prahara dan meninggalkan kepedihan di hatiku.

Harumnya mawar di halaman rumahku tiada lagi tercium aromanya. Apakah ini suatu pertanda, bahwa tiada lagi cinta di hatiku. Hati yang telah lama membeku. Bagai gunung es di tengah padang salju. Entah kapan gunung es ini akan mencair, karena tak ada seberkas sinar yang mampu melelehkan bongkahan es di hatiku ini.

Malam semakin larut, gerimis mulai menyapu debu-debu di atas dedaunan. Dinginnya angin malam semakin membuat hatiku gelisah. Aku teringat kembali akan prahara rumah tanggaku. Rumah tangga yang semula bahagia dan penuh kehangatan, berubah menjadi suatu kepedihan yang begitu membekas di hati.

Kegelisahan hatiku, membuatku tak dapat memejamkan mata. Ku beranjak dari pembaringan dan ku ambil diaryku. Di sinilah ku tuangkan seluruh isi hatiku. Diary yang menyimpan sejuta cerita kehidupanku. Suka duka dan pahit getirnya kehidupanku dari aku masih remaja hingga saat ini. Ku goreskan penaku di atas kertas berwarna biru. Kutulis puisi rindu buat kekasih hati yang tak kunjung kembali.

Malam…
Bak rembulan ditelan awan hitam
Nyanyian burung malam seolah mengiris hatiku
Mencabik jiwa yang didera rindu

            Hembusan angin malam mendayu-dayu
            Seperti rintihan di dalam hatiku
            Sekian lama sendiri di dalam sepi
            Belahan jiwa tak kunjung kembali

Malam semakin larut
Ku tenggelamkan tubuhku dalam selimut
Tuk membuang rindu
Yang kian menghimpit jiwaku

Jauhnya kau di sana, di seberang lautan
Ingin ku gapai tanganmu, ku rangkul dalam pelukan
Walau sekejab hanya di dalam mimpiku
Tuk obati rindu yang kian menusuk kalbu

Enam tahun aku menunggu. Menunggu Sam kembali. Kembali di tengah-tengah kami. Aku dan buah hati kami berdua. Buah hati hasil perwujudan dari cinta kasih kami berdua. “Sam... tidak ingin tahukah kamu, buah hati kita sudah semakin besar, sewaktu masih bayi kamu sangat menyayangi dia, aku selalu menunggumu Sam!” Aku menghelah napas panjang. Orang-orang di sekelilingku sering kali membujukku, agar aku menikah lagi, terutama ibu, orang yang paling dekat denganku. Tapi kenapa hatiku tidak tergerak sedikit pun untuk menikah lagi.

***
Ketika aku menikah usiaku masih dua puluh tahun. Sedangkan Sam dua tahun lebih tua dariku. Sebelum kami menikah kami sempat berpacaran selama dua tahun. Waktu bertemu Sam, aku masih kelas III SMA. Dan Sam mulai bekerja di sebuah perusahan kontraktor. Kami sepakat menikah, karena kami saling menyintai dan kedua orang tua kami terus mendesak, agar kami segera menikah. “Jangan terlalu lama berpacaran, tidak baik dipandang oleh tetangga!” Ibu selalu mengatakan itu setiap kali Sam datang ke rumah.

Acara pernikahan kami digelar secara sederhana. Belum genap setahun usia pernikahan kami, aku sudah mulai berbadan dua. Dengan kehamilanku Sam semakin sayang kepadaku. Setiap berangkat dan pulang kerja, Sam selalu mengecup perutku yang semakin membesar. Kami sangat bahagia menantikan sang buah hati yang akan hadir di tengah kehidupan kami. Setiap bangun tidur Sam bertanya kepadaku: “Sayang, kamu pingin apa? Entar aku belikan sepulang kerja, aku nggak mau anakku ngiler, karena kamu ngidam nggak keturutan.” Itulah kalimat yang selalu ku dengar dari bibir Sam waktu itu.

Sembilan bulan kami menunggu kehadiran sang buah hati. Kadang terbersit rasa was-was di hatiku. Tapi Sam selalu menguatkan hatiku, agar aku selalu optimis. Sam juga tidak pernah lupa mengajakku berdo’a setiap selesai melaksanakan sholat. Memohon kepada Allah, agar sang jabang bayi lahir dengan sehat dan selamat.

Sam selalu mendampingiku. Dia menjagaku siang dan malam. Dia tidak tega membiarkan aku merasakan rasa sakit sendirian, ketika aku melahirkan. Dia seorang calon ayah yang sangat setia pada waktu itu.

Tepat tanggal 18 February jam 10.10 WIB, sembilan tahun silam, tangis bayi laki-laki terdengar nyaring di ruang bersalin “Kasih Ibu” dimana aku dirawat. Dan sang buah hati, kami beri nama “Rizky Febrian Pratama.“ Puji syukur kepada Allah tak lupa kami panjatkan atas kelahiran sang buah hati kami.

Tidak hanya sampai di situ, Sam juga selalu membantuku merawat sang buah hati. Dia tidak merasa keberatan bangun malam, untuk menyeduhkan susu, ketika Febie kecil lapar di malam, atau mengganti popok Febie, ketika Febie pipis. Setiap pulang kerja Sam tidak pernah lupa membawa makanan kesukaanku. Atau membelikan mainan untuk Febie, padahal waktu itu Febie belum mengerti mainan, karena usianya masih belum genap satu tahun. Dengan kehadiran sang buah hati semakin lengkaplah kebahagiaan kami.

Ketika Febie menginjak usia dua tahun, Sam dipercaya bosnya untuk menangani sebuah proyek di luar Jawa. Sebenarnya aku merasa keberatan melepas keberangkatan Sam. Aku punya firasat yang kurang baik. Wajar saja selama ini kami selalu bersama. Terlalu dini jika Sam pergi meninggalkan kami. Tapi Sam punya ambisi besar dalam karirnya. Dia ingin menunjukan kepada bos dan teman-temannya, bahwa dia mampu mengerjakan proyek tersebut. Sam tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh bosnya.

“Ini adalah kesempatan bagiku demi karirku di masa yang akan datang sayang, semua ini demi keluarga, demi kamu dan Febie juga, aku pergi demi masa depan keluarga kita, sayang!” Itulah kata-kata yang berhasil meyakinkanku, sehingga aku rela melepas kepergian Sam. Sebagai seorang istri seharusnya aku mendukung Sam. Karena semua itu demi masa depan keluarga.

Walau terasa berat, aku harus rela melepaskan kepergian Sam. Sam berjanji akan pulang setiap bulan. Bulan-bulan pertama Sam selalu menepati janjinya. Setiap bulan dia pulang untuk melepas rindu. Rindu kepadaku, juga kepada Febie sang buah hati. Tapi itu berlangsung selama beberapa bulan saja. Bulan-bulan berikutnya, Sam semakin jarang pulang. Kadang dia pulang tiga bulan sekali, kadang malah lebih dengan alasan sibuk.

Dan pada puncaknya ketika Febie merayakan hari ulang tahunnya yang ke tiga. Sam tidak hadir di tengah-tengah kami. Setiap kali aku menelepon dia selalu bilang: “Aku sibuk mengurus proyek ma.” Kiriman uang belanja pun sering terlambat. Aku semakin gelisah, aku merasa bahwa ada wanita lain di hati Sam. Sam sudah lupa dengan janji-janjinya. Bahkan Sam tega menelantarkan keluarganya. Kabar terakhir yang ku dengar bahwa Sam telah terjerat oleh cinta gadis Kalimantan.

Betapa hancur hatiku saat itu. Aku sempat down untuk beberapa bulan. Sam merupakan tulang punggung keluarga sudah tidak peduli lagi dengan kami. Sedangkan Febie yang masih balita harus kehilangan kasih sayang seorang ayah. Untunglah masih ada ibu dan bapak yang selalu menguatkan hatiku.

Sebenarnya aku masih berharap, bahwa suatu saat nanti Sam akan kembali. Tiap malam aku berdo’a kepada yang Maha Kuasa, agar Sam dikembalikan kepada kami. Tapi penantian dan kesetianku ini sepertinya sia-sia belaka. Karena sampai detik ini, Sam tidak kunjung kembali.

Aku tidak boleh meratapi nasibku terus-menerus. Aku harus bertahan demi masa depan Febie putraku. Aku berjuang membesarkan Febie sendirian. Walaupun aku seorang wanita, aku tidak boleh menyerah dan putus asa.
Sejak saat itu, hatiku terasa beku. Aku tak percaya lagi yang namanya laki-laki. Semua laki-laki ku anggap sama, pendusta dan pembohong, seperti Sam yang begitu tega meninggalkanku dan putranya demi wanita lain.

***
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, aku harus bekerja. Untuk itu dengan modal jiwa yang penuh kasih sayang kepada anak-anak, aku mengajukan permohonan, agar aku bisa mengajar play grup yang baru didirikan di desa kami. Untunglah dengan senang hati pak Lurah berkenan mengijinkan aku menjadi tenaga pengajar di play grup yang memang sedang membutuhkan tenaga pengajar ini.

Aku sangat menyukai anak-anak. Tingkah anak-anak yang lucu dan polos berhasil menghibur duka laraku. Mereka adalah teman yang sangat menyenangkan. Jiwa anak-anak adalah jiwa yang polos dan bersih. Mereka tidak sepintar orang-orang dewasa, yang kadang kepintarannya menjurus menjadi kelicikan.

Fitri adalah seorang gadis cilik yang lucu dan manis. Tingkahnya yang menggemaskan membuatku jatuh cinta kepada gadis cilik ini. Dialah murid yang paling istimewa di hatiku dari ke dua puluh delapan muridku yang lain. Rasa sayangku kepadanya sepertinya berlebihan. Aku juga tidak tahu, kenapa dia begitu dekat denganku. Aku menyayangi dia seperti aku menyayangi Febie putraku. Dia juga begitu manja dan sayang kepadaku, seperti ada hubungan batin yang sangat kuat di antara kami berdua.

Rambutnya yang panjang selalu dikepang dua. Kulitnya putih dan bersih. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi dia punya pesona di matanya. Rambut poninya selalu tersusun rapi menghiasi keningnya. Ibunya pasti seorang ibu yang telaten dan penuh perhatian.

Tingkahnya yang lucu membuatku selalu terhibur. Di play grup ini aku merasa tidak sendirian. Fitri dan anak-anak yang lain membuatku sangat terhibur. Kepedihan dan kesedihan yang ku rasakan terasa sirna di saat aku bersama mereka. Mereka adalah teman pelipur laraku. Selain menimbah ilmu di play grup ini adalah arena permaianan yang menyenangkan. Kaki-kaki mungil berlari ke sana ke mari, riang gembira, dan gelak tawa anak-anak adalah obat yang ampuh untuk menyembuhkan luka dalam hatiku.

Biarpun sudah enam tahun, luka dalam hatiku terkadang masih membekas. “Akankah Sam kembali suatu saat nanti? Mungkinkah aku masih mau menerimanya? Ah... kenapa aku sebodoh ini ya! Lebih baik aku berkemas pulang dan menjemput Febie.” Aku menghela napas panjang.

“Sayang... kok belum ada yang menjemput?” Tanyaku kepada Fitri yang pada saat itu masih duduk sendiri di depan sekolah, padahal sudah setengah jam yang lalu, jam sekolah play grup Melati Putih berakhir. Anak-anak yang lain dan para guru sudah pulang semua. Akulah orang yang terakhir meninggalkan play grup ini, karena aku masih harus memberesi alat-alat peragaan yang dipergunakan oleh anak-anak tadi pagi.

“Ayah belum datang bu!” Jawab gadis mungil itu, seraya mengusap peluh di keningnya.
“Rumah Fitri dimana? Ayo... ibu antar pulang!” Ajakku seraya menggandeng tangan gadis mungil itu.

“Tapi bu, tu… ayahku udah datang!” Seru Fitri kegirangan seraya menunjuk seorang pria yang berpenampilan rapi. Dia mengenakan stelan kemeja berwarna coklat muda, dia sedang memarkir motornya di halaman sekolah. Dia berjalan mendekati kami dengan senyum menghiasi bibirnya. Aku mencoba membalas senyumnya, walaupun aku tidak tahu, apakah senyum manisnya itu ditujukan kepadaku atau untuk putri kesayangannya. Dilihat dari stelan kemeja yang dia kenakan sepertinya dia seorang pegawai negeri. Aku sempat berpikir: “Dimana ya dia bekerja? Ah… mau tahu aja aku ini.” Ku singkirkan rasa ingin tahuku jauh-jauh.

“Ayah… kok lama sih?” Bibir mungil Fitri mulai berucap. Ayahnya belum sempat menjawab, tapi...
“Ayah... ni ibu Alin yang sering Fitri ceritakan sama ayah!”  Ujar Fitri lagi seraya menunjukan ibu jarinya ke arahku.

“Ha… apa yang Fitri ceritakan tentang diriku kepada ayahnya?” Gumamku kaget.
Ayah Fitri mendekat dan mengulurkan tangannya. “Oh… tatapan matanya seolah menembus ke dalam jantungku. Matanya sendu, tapi sorot matanya begitu tajam, setajam mata burung elang. Tatapan mata yang sudah lamaku kenal, ya… tatapan mata Richard Gere, mirip banget!” Gumamku dalam hati.

Hati wanita mana yang tidak luluh bila berpandangan mata dengan sang bintang pujaan ini. Richard Gere adalah bintang pujaanku sejak aku masih SMA. Aku tidak pernah melewatkan nonton film-film romantis bintang ganteng ini. Aku kenal Richard Gere melalui filmnya yang berjudul: “Pretty Woman.” Kini Richard Gere Indonesia telah berdiri di depanku. Hidungnya juga mancung, walaupun kulitnya tidak seputih orang bule, tapi pesonanya ada pada mata dan senyumnya. “Dia memang Richard Gere banget.” Gumamku lagi.

“Angga.” Dia menyebutkan namanya seraya menjabat tanganku.
“Alina.” Jawabku. Tanganku menjadi gemetaran, ketika tangan kami bersentuhan. Jantungku berdetak tak karuan. Ku tahan nafas dalam-dalam untuk menutupi perasaan aneh ini.

Sejak perkenalan itu secara diam-diam aku selalu menunggu. Menunggu ayah Fitri datang menjemput Fitri, bahkan aku rela datang lebih pagi, agar aku bisa melihat ayah Fitri, ketika dia mengantar Fitri ke sekolah. Apa yang ku lakukan ini sungguh gila. Aku benar-benar sedang jatuh cinta. Jatuh cinta dengan seorang pria yang jelas-jelas statusnya sudah beristri. Bahkan aku diam-diam mencari tahu tentang dia. Tentu saja hal itu kulakukan melalui gadis mungil itu. Kini aku bukan jatuh cinta dengan gadis mungil itu, tapi aku jatuh cinta dengan ayahnya. “Bodohnya aku ini!” Aku mengolok diriku sendiri.


Cinta memang bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Sudah lama aku tidak merasakan rasa ini. Kenapa rasa ini datang di kala usiaku sudah menginjak kepala tiga. Dan lebih celakanya pria yang ku cintai adalah pria yang statusnya sudah beristri. Rasanya ini tidak adil. Aku yang sudah menderita karena ditinggalkan Sam, kini aku malahan menyintai pria yang sudah menjadi milik wanita lain. Apa yang ku rasakan ini menimbulkan pro dan kontra di hatiku.

TO BE CONTINIUES

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog List